Saturday, November 19, 2005

Ketika Kita Suka Menjadi Miskin - Kompas

Opini



Sabtu, 19 November 2005




Ketika Kita Suka Menjadi Miskin


Kacung Marijan

Salah satu penjelas mengapa dalam negara-bangsa ada kemiskinan adalah karena faktor kultural, karena masyarakatnya lebih suka hidup miskin.

Penjelasan itu biasanya dikaitkan ketiadaan spirit untuk mengubah nasib seperti adanya kebutuhan berprestasi (need for achievement). Kelompok miskin itu fatalis karena beranggapan, miskin sudah menjadi takdir dan harus dijalani tanpa ada upaya serius untuk mengubahnya.

Suka miskin

Penjelasan itu sudah sering dikritik. Penganut aliran strukturalis berpandangan, kemiskinan bukan suatu takdir dan kemauan kaum miskin. Kemiskinan merupakan produk dan struktur yang tidak adil. Kemiskinan lahir karena adanya eksploitasi yang dilakukan kelompok, termasuk negara, kaya terhadap kelompok (negara) miskin.

Penjelasan penganut aliran, strukturalis itu memang ada benarnya. Agar mampu mempercepat akumulasi modal, para pemilik modal, termasuk negara- negara kaya, selama ini mengambil untung besar ketika harus berelasi dengan kelompok atau negara yang tidak memiliki modal. Konsekuensinya, yang makin dan tidak memiliki modal tetap saja harus bergulat dengan kemiskinan.

Namun, pandangan para penganut penjelasan kultural juga tidak serta-merta salah. Lihatlah apa yang terjadi pada pekan-pekan lalu.

Jumlah orang yang terkategori miskin meningkat tajam. Secara matematis, peningkatan demikian bisa dipahami. Kenaikan harga BBM telah menyebabkan melonjaknya laju inflasi akibat kenaikan berbagai kebutuhan masyarakat. Konsekuensinya, kelompok-kelompok yang sebelumnya belum terkategori miskin kini memasuki golongan miskin itu.

Jumlah itu diperkirakan kian meningkat karena roda perekonomian juga tersendat-sendat akibat kenaikan harga BBM.

Jumlah industri yang tutup bertambah banyak, khususnya industri yang menggantungkan pemasaran produk-produknya di dalam negeri. Konsekuensinya, para penganggur kian bertambah dan mereka lambat laun masuk kategori miskin.

Selain realitas empiris seperti itu, kini terdapat sekelompok orang yang lebih suka disebut golongan miskin. Kalau menggunakan standar ukuran Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok ini tidak terkategori miskin, tetapi mereka terdaftar sebagai penduduk miskin. Menurut Ketua BPS, jumlahnya ada sekitar tiga juta orang.

Berbondong-bondong orang mau disebut miskin tidak lepas dari subsidi yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok ini. Menurut rencana, sekitar setahun ke depan, kelompok miskin disubsidi sebesar Rp 100.000 per keluarga. Menjadi miskin, dengan demikian, menjadi sesuatu yang menguntungkan.

Pejabat miskin

Tidak hanya masyarakat kebanyakan yang kini suka menjadi miskin. Para pejabat kita pun saat ini juga suka menjadi miskin. Lihat apa yang menjadi usulan tiga institusi penting di negeri ini. DPR mengusulkan kenaikan anggaran sebesar 52,8 persen, kepresidenan 57,7 persen, dan wakil kepresidenan 145,7 persen (Kompas, 25/10/2005). Di antara anggaran itu tidak sedikit yang dialokasikan untuk menambah take home pay para pejabat di tiga institusi itu.

Dalam situasi krisis yang besar, wajar suatu negara mengeluarkan subsidi besar bagi kelompok miskin. Joh Maynard Keynes (1964) pernah mengeluarkan resep, berdasar kasus Great Depression pada 1930-an, pengeluaran negara terhadap kelompok miskin bisa mempercepat recovery ekonomi.

Tetapi, resep Keynes itu memang lebih khusus ditujukan kepada kelompok miskin.

Kalaupun bersentuhan dengan kelompok kaya, itu lebih secara tidak langsung saja. Misalnya, negara menggenjot pengeluaran untuk perbaikan infrastruktur agar laju pertumbuhan ekonomi yang macet bisa berlangsung kembali.

Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada buku teks ekonomi politik yang memberi anjuran agar negara memberi tunjangan lebih besar kepada pejabat tinggi negara agar cepat keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan.

Yang terjadi justru sebaliknya, para elite negara harus memperketat berbagai pengeluaran rutin agar kian banyak anggaran yang bisa disalurkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (push factor).

Menambah tunjangan pejabat tinggi negara dalam kondisi seperti sekarang ini telah memasukkan pejabat negara itu ke dalam kelompok orang miskin. Hanya saja, kategorinya bukan miskin sebagaimana ukuran BPS, tetapi miskin moral.

Para pejabat tinggi negara itu telah tega mengambil hak fakir miskin. Padahal, dalam bahasa agama, kelompok demikian termasuk orang-orang yang mendustakan agama.

Sekiranya kebijakan untuk menaikkan take home pay untuk para pejabat tinggi negara terus dilakukan, semakin memperpanjang adanya kebijakan-kebijakan negara yang tidak jelas arahnya.

Kebijakan memberi subsidi langsung kepada kaum miskin dikritik bisa mempertebal kultur fatalis dan membuat orang suka hidup dalam kemiskinan.

Kebijakan menaikkan tunjangan para pejabat negara juga bisa mengarah pada kultur fatalis, yakni tak berusaha serius mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan itu.

Kita memang lebih suka menjadi miskin.

KACUNG MARIJAN Dosen FISIP Universitas Airlangga, Surabaya



Listed on BlogShares