Saturday, October 01, 2005

"In Memoriam" Prof Dr Selo Soemardjan

"In Memoriam" Prof Dr Selo Soemardjan

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/12/utama/364906.htm
Kamis, 12 Juni 2003

Oleh Paulus wirutomo

Ia lahir di Yogyakarta tanggal 23 Mei, tepat 88 tahun yang lalu, suatu angka yang amat indah, seindah pribadinya. Selo Soemardjan amat mencintai Kota Yogyakarta. Bukan hanya karena dia dilahirkan di sana, tetapi sebagai "wong Jowo" yang amat loyal pada kejawaannya, dia telah berhasil merebut hati sang raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX sehingga kini dia menjadi warga Keraton Yogyakarta. Suatu kebanggaan dan kebahagiaan yang tak pernah dapat disembunyikannya!

Nama Selo Soemardjan selalu melekat dengan sosiologi. Ilmu itu sebenarnya baru benar-benar ditekuni pada saat usianya sudah di atas empat puluh tahun, yaitu ketika ia pada tahun 1956 memperoleh kesempatan menuntut ilmu di Cornell University, Amerika Serikat. Di sinilah bekas camat lulusan Mosvia (tingkat SLTA) ini menunjukkan kehebatannya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun beliau boleh pulang ke Tanah Air dengan menyandang gelar PhD di bidang sosiologi. Disertasinya "Social Changes in Jogyakarta" pun dibukukan dan banyak menjadi acuan sarjana luar negeri yang menulis tentang perubahan sosial di Indonesia pascakemerdekaan.

Sejak itu kegiatan Selo Soemardjan hampir tak ada habisnya untuk mengembangkan sosiologi dan bahkan ilmu sosial lainnya di Tanah Air. Dia memperoleh gelar profesor dari fakultas ekonomi, hanya satu tahun setelah kembali ke Tanah Air. Dia adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia beliau menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Di luar UI, tokoh yang "tidak bisa diam" ini mendirikan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial bersama koleganya yang berasal dari berbagai bidang ilmu sosial. Yayasan itu amat banyak memberikan sumbangan penting dalam sejarah perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Selo adalah ketua yayasan tersebut sampai tahun 2001.

Tahun 1972 bersama rekan-rekannya mendirikan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial dan tahun 1980 ikut membidani lahirnya Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI).

Tidak mengherankan bila para sosiolog di Indonesia (yang hampir semua adalah bekas muridnya) mengangkat beliau sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Sedemikian lekatnya sosiologi dengan Selo Soemardjan sampai seorang mantan asistennya, Drs Wahyu Sardono (almarhum), memelesetkannya menjadi "Selologi".

Selo Soemardjan bukan seorang sosiolog yang sophisticated. Pemikiran-pemikirannya sederhana saja, bahkan kalau ikut kuliahnya tidak kalah asyiknya dengan mendengarkan Srimulat karena banyak sekali lelucon beliau yang memang benar-benar lucu! Beliau pernah cerita: waktu jadi carik di suatu kecamatan di daerah Yogyakarta, aturan sopan santun amat ketat. Seorang carik harus bersila di lantai dan tidak boleh memandang wajah tamu-tamu yang datang. "Akhirnya saya jadi hafal semua bentuk kaki para tamu dan pegawai di kecamatan!" ujarnya.

Sense of humor Selo kadang-kadang agak "keterlaluan". Misalnya, penerbit salah satu bukunya menawarkan suatu judul Komitmen Selo Soemardjan. Menanggapi itu, beliau dengan enteng mengatakan, "Ah... ngapain pake komat-kamit segala!" Akhirnya (mungkin setengah jengkel), penerbit memberi judul buku itu: Komat-Kamit Selo Soemardjan dan ternyata sang profesor senang dengan judul aneh itu!

Sebagai sosiolog, Selo Soemardjan bukan terkenal karena teorinya yang rumit, tetapi justru karena "action"-nya. Ia benar-benar the man of action! Pada tahun l995 beliau terkena stroke dan dokter melarangnya untuk berpikir yang berat dan serius, kalau ingin umur panjang.

Mula-mula ia patuh dan sehari-hari hanya main dengan cucunya. Belum satu bulan beliau tak tahan. "Saya tidak bisa hidup seperti ini!" Dan, beliau pun nekat mulai berdiskusi, memberi kuliah, menulis, dan sebagainya. Ternyata kesehatannya malah pulih dan pada saat Kampus UI menggelar gerakan reformasi, sang profesor berada di tengah-tengah mahasiswa!

Ketika pecah konflik di berbagai daerah beberapa tahun lalu, Selo tak bisa tinggal diam. Ia bukan hanya menganalisis dan memberi saran dari belakang meja, tetapi datang ke berbagai daerah konflik, sampai-sampai pernah akan dihakimi oleh massa yang sedang kalap! Sungguh tindakan yang berani dari seseorang yang memang pernah terjun langsung menjadi gerilya di zaman revolusi.

Di samping Social Changes in Jogyakarta, Selo juga menghasilkan tak terhitung tulisan ilmiah di bidang sosiologi, beberapa buku beliau yang lain. Salah satunya, Setangkai Bunga Sosiologi yang ditulis bersama sahabatnya, Soelaiman Soemardi. Buku-buku terakhirnya, misalnya, Kisah Perjuangan Reformasi (1999) yang ditulisnya bersama-sama dengan para sosiolog muda dan Menuju Tata Indonesia Baru (2000).

Prof Selo dikenal dengan pemikirannya tentang "kemiskinan struktural". Beliau mengingatkan bahwa kemiskinan di Indonesia bukan hanya karena orang Indonesia memang tidak memiliki etos kerja yang tinggi sehingga menjadi miskin, tetapi kemiskinan itu lebih merupakan impitan struktur yang berupa aturan, kebijakan, dan praktik-praktik birokrasi yang membuat orang miskin selalu jatuh lagi ke dalam kemiskinan.

Sebagai sosiolog yang menekuni studi di pedesaan, beliau mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah pusat pada zaman Orde Baru (Orba) yang ingin menyeragamkan bentuk pemerintahan desa di seluruh Indonesia telah menyebabkan desa-desa adat kehilangan mekanisme adat dan kepemimpinannya, yang sebetulnya memiliki "wibawa" yang tinggi pada masyarakat lokal. Karena itu, ketika terjadi konflik antarwarga pada masa pasca-Orba, pemerintah kelurahan yang dibentuk pemerintah pusat kurang efektif mengendalikan konflik horizontal antarwarga tersebut. Pada masa reformasi ini Prof Selo aktif untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat di daerah-daerah.

Keprihatinan Pak Selo akhir-akhir ini-seperti diungkapkannya kepada beberapa asisten dan mantan murid beliau-adalah "bagaimana nasib Negara Kesatuan RI ini setelah amandemen UUD 1945?" Beliau berpesan agar sebelum MPR bersidang lagi bulan Agustus mendatang, para sosiolog-yang selama ini tampak tidak banyak berkomentar tentang amandemen UUD 1945-mengadakan suatu pertemuan ilmiah untuk membahas hal itu dan menyumbangkan pemikirannya kepada para wakil rakyat.

Prof Selo memang tidak akan pernah bisa menghadiri pertemuan ilmiah itu karena kemarin siang pukul 13.00 Tuhan telah memanggilnya. Akan tetapi, spirit beliau tetap akan menyertai kita karena… old soldier never die!

Semoga beliau diberi tempat yang nikmat di sisi-Nya. Amin! *

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Listed on BlogShares