Saturday, November 19, 2005

Ketika Kita Suka Menjadi Miskin - Kompas

Opini



Sabtu, 19 November 2005




Ketika Kita Suka Menjadi Miskin


Kacung Marijan

Salah satu penjelas mengapa dalam negara-bangsa ada kemiskinan adalah karena faktor kultural, karena masyarakatnya lebih suka hidup miskin.

Penjelasan itu biasanya dikaitkan ketiadaan spirit untuk mengubah nasib seperti adanya kebutuhan berprestasi (need for achievement). Kelompok miskin itu fatalis karena beranggapan, miskin sudah menjadi takdir dan harus dijalani tanpa ada upaya serius untuk mengubahnya.

Suka miskin

Penjelasan itu sudah sering dikritik. Penganut aliran strukturalis berpandangan, kemiskinan bukan suatu takdir dan kemauan kaum miskin. Kemiskinan merupakan produk dan struktur yang tidak adil. Kemiskinan lahir karena adanya eksploitasi yang dilakukan kelompok, termasuk negara, kaya terhadap kelompok (negara) miskin.

Penjelasan penganut aliran, strukturalis itu memang ada benarnya. Agar mampu mempercepat akumulasi modal, para pemilik modal, termasuk negara- negara kaya, selama ini mengambil untung besar ketika harus berelasi dengan kelompok atau negara yang tidak memiliki modal. Konsekuensinya, yang makin dan tidak memiliki modal tetap saja harus bergulat dengan kemiskinan.

Namun, pandangan para penganut penjelasan kultural juga tidak serta-merta salah. Lihatlah apa yang terjadi pada pekan-pekan lalu.

Jumlah orang yang terkategori miskin meningkat tajam. Secara matematis, peningkatan demikian bisa dipahami. Kenaikan harga BBM telah menyebabkan melonjaknya laju inflasi akibat kenaikan berbagai kebutuhan masyarakat. Konsekuensinya, kelompok-kelompok yang sebelumnya belum terkategori miskin kini memasuki golongan miskin itu.

Jumlah itu diperkirakan kian meningkat karena roda perekonomian juga tersendat-sendat akibat kenaikan harga BBM.

Jumlah industri yang tutup bertambah banyak, khususnya industri yang menggantungkan pemasaran produk-produknya di dalam negeri. Konsekuensinya, para penganggur kian bertambah dan mereka lambat laun masuk kategori miskin.

Selain realitas empiris seperti itu, kini terdapat sekelompok orang yang lebih suka disebut golongan miskin. Kalau menggunakan standar ukuran Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok ini tidak terkategori miskin, tetapi mereka terdaftar sebagai penduduk miskin. Menurut Ketua BPS, jumlahnya ada sekitar tiga juta orang.

Berbondong-bondong orang mau disebut miskin tidak lepas dari subsidi yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok ini. Menurut rencana, sekitar setahun ke depan, kelompok miskin disubsidi sebesar Rp 100.000 per keluarga. Menjadi miskin, dengan demikian, menjadi sesuatu yang menguntungkan.

Pejabat miskin

Tidak hanya masyarakat kebanyakan yang kini suka menjadi miskin. Para pejabat kita pun saat ini juga suka menjadi miskin. Lihat apa yang menjadi usulan tiga institusi penting di negeri ini. DPR mengusulkan kenaikan anggaran sebesar 52,8 persen, kepresidenan 57,7 persen, dan wakil kepresidenan 145,7 persen (Kompas, 25/10/2005). Di antara anggaran itu tidak sedikit yang dialokasikan untuk menambah take home pay para pejabat di tiga institusi itu.

Dalam situasi krisis yang besar, wajar suatu negara mengeluarkan subsidi besar bagi kelompok miskin. Joh Maynard Keynes (1964) pernah mengeluarkan resep, berdasar kasus Great Depression pada 1930-an, pengeluaran negara terhadap kelompok miskin bisa mempercepat recovery ekonomi.

Tetapi, resep Keynes itu memang lebih khusus ditujukan kepada kelompok miskin.

Kalaupun bersentuhan dengan kelompok kaya, itu lebih secara tidak langsung saja. Misalnya, negara menggenjot pengeluaran untuk perbaikan infrastruktur agar laju pertumbuhan ekonomi yang macet bisa berlangsung kembali.

Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada buku teks ekonomi politik yang memberi anjuran agar negara memberi tunjangan lebih besar kepada pejabat tinggi negara agar cepat keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan.

Yang terjadi justru sebaliknya, para elite negara harus memperketat berbagai pengeluaran rutin agar kian banyak anggaran yang bisa disalurkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (push factor).

Menambah tunjangan pejabat tinggi negara dalam kondisi seperti sekarang ini telah memasukkan pejabat negara itu ke dalam kelompok orang miskin. Hanya saja, kategorinya bukan miskin sebagaimana ukuran BPS, tetapi miskin moral.

Para pejabat tinggi negara itu telah tega mengambil hak fakir miskin. Padahal, dalam bahasa agama, kelompok demikian termasuk orang-orang yang mendustakan agama.

Sekiranya kebijakan untuk menaikkan take home pay untuk para pejabat tinggi negara terus dilakukan, semakin memperpanjang adanya kebijakan-kebijakan negara yang tidak jelas arahnya.

Kebijakan memberi subsidi langsung kepada kaum miskin dikritik bisa mempertebal kultur fatalis dan membuat orang suka hidup dalam kemiskinan.

Kebijakan menaikkan tunjangan para pejabat negara juga bisa mengarah pada kultur fatalis, yakni tak berusaha serius mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan itu.

Kita memang lebih suka menjadi miskin.

KACUNG MARIJAN Dosen FISIP Universitas Airlangga, Surabaya



Wednesday, October 26, 2005

Pendidikan & Kenaikan Harga BBM

ARTIKEL Pikiran Rakyat
Rabu, 26 Oktober 2005




Pendidikan & Kenaikan Harga BBM
Oleh Prof. Dr. MAMAN SURYAMAN
TIDAK dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan sarana yang ampuh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar dapat hidup dan menjalani kehidupan secara bermartabat. Kualitas SDM yang tinggi diyakini dapat mengantarkan negara menjadi makmur. Atas dasar itu pula bahwa UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Dengan demikian setiap warga boleh menuntut haknya untuk dapat mengikuti pendidikan setidak-tidaknya hingga setingkat sekolah menengah pertama (SMP), sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program wajib belajar 9 tahun. Namun demikian amanat konstitusi itu tidak serta merta dapat dilaksanakan secara penuh di lapangan. Pada tahapan pelaksanaan banyak faktor yang menghambat terutama masalah biaya. Memang tak terbantahkan untuk menyelenggarakan pendidikan itu diperlukan biaya yang besar. Sedangkan kondisi keuangan negara masih seret, bahkan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % pun belum mampu.

Gambaran kemampuan ekonomi negara yang lemah juga terekspresikan oleh banyaknya keluarga miskin yang mempunyai penghasilan pas-pasan hanya sekadar untuk bertahan hidup. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat warga miskin berjumlah 62 juta orang dengan pendapatan kurang dari Rp 175.000,00/kapita/bulan. Kemiskinan yang melilit sebagian besar keluarga kurang mampu dapat melahirkan kebodohan akibat terbatasnya akses mereka terhadap layanan pendidikan karena hambatan faktor ekonomi, seperti tercermin dengan masih tingginya tingkat drop out (DO).

Berdasarkan data Depdiknas, pada tahun 2003 angka DO mendekati 1 juta anak, terdiri dari SD sebanyak 702.066 dan SMP mencapai 271.948. Pada tahun 2004 angka DO mengalami penurunan cukup signifikan, lebih dari 200.000 anak usia sekolah terselamatkan dari DO. Kondisi ini cukup menggembirakan serta merupakan bukti keberhasilan dari kepedulian dan kerja sama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan. Namun demikian, optimisme dan keberhasilan yang dicapai pada tahun 2004 rasanya akan sulit dipertahankan bahkan hampir mustahil dapat direalisasikan pada tahun 2005, karena menurunnya secara drastis kemampuan ekonomi masyarakat akibat naiknya harga BBM. Sejak awal Oktober 2005, harga berbagai barang dan jasa melesat naik seiring dengan melambungnya harga BBM. Dampaknya sungguh luar biasa.

Angka pengangguran yang sudah mencapai 830.000 orang/tahun, diprediksi bisa menembus angka 1 juta orang /tahun. Demikian juga dengan warga miskin, akan banyak muncul kelompok pendatang baru yang menyandang predikat PMB (penduduk miskin baru). Dampak bertambahnya jumlah keluarga miskin secara langsung dapat mempengaruhi kelangsungan pendidikan anak. Kecilnya penghasilan keluarga miskin, menyebabkan anggaran pendidikan anak tidak lagi menjadi prioritas. Anggaran keluarga akan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan dan biaya kesehatan. Kalau ada sisa, baru dialokasikan untuk pendidikan anak. Boleh jadi bersekolah dapat menambah beban ekonomi keluarga miskin, sehingga tidak sedikit anak usia sekolah yang terpaksa harus DO dan membantu orang tuanya mencari tambahan penghasilan. Diprediksi angka DO untuk SD dan SMP mencapai 1 juta anak pada tahun 2005/2006.

Guna mengatasi lonjakan angka DO, pemerintah telah melakukan beberapa jurus penangkal, seperti bantuan biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan subsidi langsung tunai (BLT) untuk keluarga miskin sebesar Rp 100.000,00/bulan. Dana BOS dirasakan manfaatnya terutama oleh keluarga yang menyekolahkan anaknya di SD dan SMP. Demikian juga masyarakat kurang mampu sedikit terbantu dengan adanya BLT. Namun begitu, manfaat dan bantuan itu jauh sangat kecil bahkan menjadi tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan pengorbanan yang harus dipikul oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Semua komponen biaya sudah membubung tinggi termasuk biaya pendidikan anak.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, biaya pendidikan anak masih relatif murah, orang tua cukup mengeluarkan Rp 26.526,00 per bulan untuk anaknya yang sekolah di SD dan Rp 66.027,00 bagi yang duduk di SMP. Namun memasuki tahun 2005, akibat kenaikan harga BBM sekira 20-40% pada awal Maret menyebabkan biaya pendidikan untuk SD meningkat hampir 4 kali lipat dan untuk SMP bertambah 2 kali lebih besar. Apalagi pascakenaikan harga BBM bulan Oktober yang mencapai lebih dari 100 %, tentu saja menyebabkan biaya pendidikan menjadi tidak terjangkau bagi kebanyakan warga. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengancam target pencapaian wajib belajar 9 tahun yang harus tuntas tahun 2008.

Dana BOS yang diterima sekolah tidak mampu menjadi solusi yang jitu dalam mengatasi masalah pendidikan. BOS hanya dapat menanggulangi sebagian kecil komponen biaya khususnya iuran sekolah. Di luar itu, sebagian besar komponen biaya tetap menjadi beban ekonomi orang tua, yang meliputi : (1) buku dan alat tulis, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) transportasi, (4) biaya les/kursus, (5) konsumsi/uang saku. Dengan komponen biaya seperti itu menyebabkan besarnya biaya satuan pendidikan (BSP) untuk SD lebih Rp 5,9 juta dan SMP Rp 7,5 juta. Demikian halnya dengan dana BLT juga tidak banyak membantu apalagi dapat mengentaskan kemiskinan, karena biaya hidup sudah sampai mencekik leher. Oleh karena itu hampir dapat dipastikan akan lebih banyak lagi anak dari keluarga miskin yang mengalami DO.

Melihat prediksi yang pesimistik itu tentu harus diupayakan agar tidak menjadi kenyataan. Untuk itu perlu diantisipasi agar target wajar 9 tahun dapat tercapai. Terdapat beberapa solusi yang bisa dilakukan, di antaranya : (1) mengintensifkan gerakan orang tua asuh, (2) penyediaan buku pelajaran secara gratis, (3) dana BOS harus diperbesar dan kebocorannya harus dicegah, (4) biaya transportasi anak sekolah harus disubsidi, (5) dana BLT harus ditambah dan diterima secara utuh oleh yang berhak serta diberikan advokasi agar dana itu digunakan untuk hal yang produktif, dan (6) memperbesar anggaran pendidikan melalui APBN(D) hingga mencapai 20 %. Bila dengan solusi tersebut DO masih terjadi, maka siswa putus sekolah harus diarahkan untuk masuk ke sekolah terbuka atau mengikuti program Kejar Paket A dan B dengan fasilitas gratis.***

Penulis, Guru Besar Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Saturday, October 01, 2005

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!

SUARA PEMBARUAN DAILY Jum'at, 17 Juni 2005
Surat Terbuka kepada Mendiknas:

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!
Oleh Trisno S Sutanto


BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke lembaga
Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar
kemungkinan Bapak tidak akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.

Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini "surat terbuka" yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu yang prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab,
menurut saya, apa yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga
dirasakan pada anak-anak seusianya.

Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada "Hari Pendidikan Nasional", misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke sekolah. Alasannya sederhana: "Aku benci sekolah!" Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap pergi
ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.

Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya. Kata "telan mentah-mentah" sengaja saya pilih, karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang (masih terus) mengandalkan pada "hafalan mati" - walau pun sudah begitu banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.

Standar Kurikulum Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan "otonomi khusus" masing-masing sekolah. Akan tetapi, pada
> praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai "ketinggalan" dari sekolah-sekolah "favorit". Apalagi, dalam sistem KBK, faktor pendidikan guru sebagai "fasilitator" (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka, seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya, merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya beri contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta). Itu berarti, setiap siswa harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 buku - saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi ujian kenaikan kelas.


Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata pelajarannya sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa SLTP kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat
memeriksa buku-ajar standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin

Bapak Menteri tidak memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu. Jadi, izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar anak saya.

Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan, masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap
pembangunan jangka panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan), sistem pernafasan (manusia dan hewan), sistem transportasi (manusia dan hewan), sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.

Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, "Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?"

Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum "perkelahian pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau mati", pasal-pasal mana untuk "perkelahian pelajar secara berkelompok", dan pasal-pasal mana yang dipakai jika "pelajar menyerang guru"!

Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan oleh pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar membawa senjata api atau senjata tajam"...

Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur,
anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya. Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak sesuai tahap-tahap perrkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum.Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut
pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan kata "sekolah" dan "belajar" momok yang sangat menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.

Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius!

* Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta

OPINI: Praksis Pendidikan Minus Visi, Catatan atas ”Bongkar Pasang” Kurikulum

Opini — Hans 17/8/2005
OPINI: Praksis Pendidikan Minus Visi, Catatan atas ”Bongkar Pasang” Kurikulum

Oleh: ST SULARTO

Perjalanan praksis (praktik dan refleksi) pendidikan selama 60 tahun Indonesia merdeka— dalam catatan ini terbatas pada pendidikan dasar dan menengah— sebenarnya jalan di tempat.

Dari kurikulum yang pertama (Kurikulum 1968) hingga yang kelima (Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), ada degenerasi dalam hal tujuan utama kegiatan pendidikan. Itu antara lain terlihat dari semakin etatifnya praksis pendidikan. Praksis pendidikan semakin tidak berorientasi pada anak (psikologi perkembangan Jan Piaget), tetapi lebih pada impuls kepentingan politik praktis.

Setiap pergantian kekuasaan dinanti dengan cemas karena setiap menteri punya kegemaran mengubah kurikulum. Padahal, setiap perubahan berdampak pada praksis pendidikan. Sampul majalah Basis Juli-Agustus 2000 menggarisbawahi catatan Sindhunata di dalamnya: Pendidikan hanya menghasilkan air mata. Ilustrasinya, air mata meleleh dari kelopak mata seorang bapak yang tertusuk pensil.

Banyak pakar dan pemerhati risau. Malah ada yang menarik tali lebih panjang ke zaman setelah Jepang masuk tahun 1942 (Slamet Iman Santoso: 1976). Praksis pendidikan di Indonesia sudah rusak sejak Jepang masuk, bersambung di zaman ”rekiblik”. Berkembang mitologi tentang peran pendidikan (Winarno Surakhmad: 1990, Mochtar Buchori: 1997), yang eloknya pendidikan senantiasa dilihat sebagai solusi keterpurukan bangsa.

Riuhnya perdebatan berakhir dengan masalah dana. Kecilnya anggaran pendidikan dituding sebagai biang keladi walaupun sepanjang sejarah Indonesia merdeka belum pernah ada alokasi anggaran lebih dari 8 persen.

Kecilnya anggaran mencerminkan belum adanya good will pemerintah. Praksis pendidikan sebagai bagian dari pembangunan bangsa sekadar slogan. Pada tahun 1980-an, ketika Indonesia tumbuh pesat berkat minyak, kemauan baik itu baru ditumbuhkan pada angka nominal, tetapi belum dalam alokasi anggaran.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono—dalam pemerintahan Megawati Soekarnoputri dicanangkan sebagai tekad—melangkah setapak. Pemerintah berjanji, bahkan membuat agenda setting, akan memenuhi alokasi ideal 20 persen pada tahun 2009. Pernyataan itu sudahlah kemajuan besar.

Masalah anggaran sebenarnya bukanlah satu-satunya masalah paling penting. Praksis pendidikan (pengajaran), sebenarnya bersumber dari adanya orientasi yang jelas, tercermin dari adanya kurikulum yang tidak gampang berubah.

Terkait politik

Kurikulum tidak bisa lepas dari politik (HAR Tilaar: 1995). Adagium pendidikan sebagai bagian dari nation and character building disadari sejak awal Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelumnya, seperti dirintis Perguruan Tamansiswa (1922).

Empat bulan setelah merdeka, praksis pendidikan mulai dibenahi. Pada tahun 1947 terbentuk sistem persekolahan sesuai dengan UUD 1945, termasuk sekolah rakyat enam tahun. Sistem itu tidak sempat dipraktikkan dan dikembangkan. Baru pada tahun 1960 tersusun undang-undang (UU) yang menjadi payung hukum kegiatan pendidikan.

Sesuai dengan keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No II/MPRS/1960 tentang manusia sosialis Indonesia, disusunlah Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 14 Tahun 1965. Keluar Keppres No 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.

Menyusul hancurnya Orde Lama, keluar Ketetapan MPRS No XXVII/MPRS/1966 yang berisi tujuan pendidikan: membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan seperti Pembukaan UUD 1945. Lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan yang terstruktur pertama kali (Cony Semiawan: 1980).

Tujuan praksis pendidikan menurut Kurikulum 1968 ialah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.

Dikembangkan berbagai uji coba, mulai dari apresiasi atas kegiatan yayasan-yayasan swasta, munculnya tokoh-tokoh perintis semacam Ibu Pakasi dari Malang dengan sistem modul, atau sekolah-sekolah pembangunan yang berorientasi pada kerja (John Dewey), hingga uji coba cara belajar siswa aktif (CBSA) di Cianjur.

Sampai pada akhirnya, setelah melihat suasana liberatif, pemerintah mengambil alih kendali seluruh praksis pendidikan. Pendidikan yang dulunya liberatif dan desentralistis ditarik kembali ke semangat deliberatif dan sentralistis. Swasta tidak lagi dianggap sebagai partner, tetapi pesaing (J Drost SJ: 1984).

Ketika belum semua sekolah menggunakan Kurikulum 1975, mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Hadirlah Kurikulum 1984, kelanjutan dari diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional. UU yang dihasilkan secara terencana lewat sebuah panitia penilai—tercatat panitia serupa pernah ada tahun 1968—dengan hasil laporan CE Beeby. UU yang mengganti UU tahun 1960 itu pun diterpa kritik.

Kurikulum 1984 dianggap sarat beban, lantas muncul Kurikulum 1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik lebih tampil ketimbang berpijak pada kebutuhan anak didik.

UU Sistem Pendidikan No 2 Tahun 1989 pun akan diganti, dan setelah lewat proses panjang baru terealisasi tahun 2003. Bersamaan pula hadir Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), di antaranya memuat sejumlah kompetensi yang perlu dimiliki setiap lulusan.

Dalam praktik, jangankan dengan KBK, bahkan di banyak daerah masih ada sekolah yang belum sempat mempraktikkan Kurikulum 1994, memasuki tahun ajaran 2005/2006 ini kurikulum terakhir tetaplah sebagai hidden curriculum, kurikulum yang belum dipraktikkan sebagai pedoman kegiatan belajar di semua sekolah.

Terus berubah

Panorama di atas menunjukkan, praksis pendidikan negeri ini tidak pernah lekang dari ”uji coba”. Kebijakan dan kebijaksanaan gampang berubah. Kurikulum yang seharusnya tidak gampang berubah—tanpa menisbikan faktor fleksibilitas sebagai keharusan—perlu diakui praksis pendidikan selama ini minus visi.

Akibat berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan seolah-olah sebagai kebijakan instan dan kurang didasari atas pertimbangan pedagogis-edukatif.

Keterlibatan emosional orangtua terhadap pendidikan dihargai sebagai unsur positif. Akan tetapi, ketika keterlibatan itu lantas menjadi pedoman dan dasar keputusan politis, semakin kuat pendapat praksis pendidikan ini berjalan minus (miskin) visi.

Munculnya prestasi-prestasi gemilang anak muda di tingkat internasional, menjamurnya calon-calon peneliti muda pada era 1980-an, perlu dicatat sebagai ”mutiara-mutiara” yang tampil di tengah lumpur praksis pendidikan minus visi. Orangtua, anak didik, dan guru merasa serba gamang oleh terombang-ambingnya utak-atik uji coba.

Ke depan, yang perlu dilakukan bukanlah utak-atik kurikulum minus visi, melainkan pemikiran serius seperti pernah terjadi pada tahun 1978. Arahnya adalah pendidikan berfokus pada anak didik sebagai pusat, tanpa mengesampingkan perkembangan global yang terjadi, dengan tetap tidak meninggalkan keterampilan sebagai membangun kemampuan sekaligus berakhlak.

Catatan ”pelapukan” ini terfokus pada pendidikan dasar dan menengah karena tingkat inilah bangunan fondasi jenjang berikutnya. Tanpa itu, pada 15 tahun ke depan, ketika Indonesia merayakan usia 75 tahun, jangan-jangan bangsa dan negara ini semakin tertinggal jauh dari Vietnam, Afrika, apalagi Singapura dan Malaysia.

SOS untuk bangsa dan negara Indonesia! Ia secara kultural sebenarnya sudah menggali liang kuburnya sendiri. (Artikel ini diambil dari Kompas)

Membangun martabat manusia : peranan ilmu-ilmu sosial dalam pembangunan

Social History and Conditions, Problems and Reform - 9794202428 - Membangun martabat manusia : peranan ilmu-ilmu sosial dalam pembangunan / penyunting, Sofian Effendi, Sjafri Sairin, M. Alwi Dahlan. - What's Been Published: "ISBN : 9794202428
Dewey :
LCCN : HN703.5 .M46 1992

Volume Details:
xxxii, 700 p. : ill., maps ; 21 cm.

Title:
Membangun martabat manusia : peranan ilmu-ilmu sosial dalam pembangunan / penyunting, Sofian Effendi, Sjafri Sairin, M. Alwi Dahlan.

Cet. 1.

'...Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial 1990 dan Konggres HIPIIS VI yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 16-21 Juli 1990 ...'--p. vi."

Ilmu Sosial di Indonesia

Ilmu Sosial di Indonesia

Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi

Oleh Herwindo

Pertama-tama saya akan memulai tulisan ini dengan pendapat yang akan saya kutip dari tulisan Ignas Kleden ini. Pendapat Karl Popper yang dikatakannya sangat terkenal, tendensi para ilmuwan untuk memberi pembuktian bersifat psikologis, sedangkan tugas untuk memalsukan diri sendiri bersifat filosofis (Popper, 1979:30). Dari sini dapat kita bentangkan permasalahannya ilmu sosial yang berkembang kekinian.

Dalam hal ini dapatlah kiranya menjelaskan keadaan ilmuwan sosial di Indonesia khususnya, Asia Tenggara pada umumnya. Karena pada dasarnya fenomena yang menjadi fakta sosial di lingkungan lokal dan regional ini sama keadaannya, refleksi jarang dilakukan bahkan dalam tindakannyapun “kering” dari pemaparan realitas sosial yang ada. Padahal refleksi diri merupakan perangkat metodologis yang terpenting bagi ilmu-ilmu sosial kritis, menurut Habermas (Habermas, 1969, 155-68).

Penelitiannya sangat “kering” dari fungsi sosialnya seorang ilmuwan sosial dan hal tersebut menjadikan ilmu sosialnya sendiri “kehilangan” makna atas apa-apa yang diteliti dan dideskripsikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi khalayak akademis dan masyarakat umum.

Namun fenomena tersebut, bukan merupakan keadaan yang dipilih oleh setiap ilmuwan sosial dimanapun melainkan ada unsur represifitas yang bersifat laten dan halus (disublimasikan) oleh kekuatan penguasa pada zaman orde baru. Berangkat dari semua itu ilmu sosial menjadi ilmu yang kajiannya tidak holistik, terdikotomis (fragmentasi), monoton dalam pengembangan, minim akan etika dan tidak bebas nilai. Fakta akan hal tersebut dapat dilihat pada media cetak harian The Jakarta Post yang terbit 26 Oktober 1992, yang menulis mengenai kongres nasional partai politik penguasa orde baru (Golkar) dalam penguasaan ruang sosio-politik untuk mendapatkan stabilitas politik dan dengan berbagai cara mempertahankan “ideologi”pembangunan nasional.

Realitas tersebut terjadi karena ada penekanan terhadap realitas yang akan dibentuk oleh penguasa orde baru guna memperlancar pembangunan nasioanal yang diprogram oleh penguasa waktu itu. Seluruh pembangunan yang dijalankan tidak mengindahkan ekses sosial dan kalaupun ada ilmuwan sosial yang melakukan tugasnya, penelitian dan observasi atas realitas sosial hanya berlaku bagi kepentingan penguasa. Metodologi yang digunakanpun sangat konvensional dalam melakukan penelitian, dimana nantinya berguna untuk membangun konstruksi wacana pembangunan yang juga berekses pembentukan rekayasa sosial Tentu saja teori yang digunakan oleh ilmuwan sosial kebanyakan, adalah teori struktural fungsionalis yang cenderung mengikuti logika politik perspektif penguasa.

Ilmu sosial yang mengembang hanya menjadi alat peredam konflik yang berkerak dan penyakit yang akut bagi negara dan bangsa Indonesia. Kaum ekonom dan sosiolog selalu beriringan pendapatnya, lebih-lebih realitas yang terlihat menyamarkan opini seorang politisi dengan dua kaum akademisi di atas tetapi, bila dicermati titik tolak disiplin ilmu masing-masing yang berbeda ini tersistematis retorikanya dan searah dengan kebutuhan yang dipesan oleh para penguasa orde baru.

Bagi para ekonom, pertumbuhan ekonomi yang akan memacu kearah pembangunan nasioanal merupakan tujuan utamanya, oleh karena itu hal tersebut menjadi landasan atas peningkatan taraf hidup bangsa. Sebenarnya bila dicermati melalui kontekstual sejarah ditekankannya pertumbuhan ekonomi lekat sekali kaitannya dengan satu alasan politis : masalah legitimasi untuk orde baru, baik itu secara internal maupun secara eksternal atas realitas politik sebelumnya (era kepemimpinan Soekarno).

Era kepemimpinan Soekarno yang menekankan pada national character building mendapatkan delegitimasi melalui kudeta konstitusional yang dilakukan oleh penguasa orde baru, setelah tumbangnya Soekarno diisilah dengan Soeharto yang mengedepankan national building. Melalui teori tetesan kebawah (trickle down theory) kepada khalayak bangsa Indonesia dihipnotis, penumpukan kekayaan merupakan awalan dari pertumbuhan ekonomi, lalu barulah kekayaan tersebut terdistribusikan secara lebih merata.

Padahal teori tetesan kebawah hanya sebagian saja dapat menjawab permasalahan tertundanya pemenuhan kebutuhan materiil, bagi mayoritas masyarakat yang tidak mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Hal tersebut menjadi kekayaan wacana yang menghasilkan buih (busa detergen) saja, embrio yang tercipta adalah konflik horisontal karena yang kaya terus menjadi kaya dan yang miskin tetap menjadi miskin. Namun konflik tersebut, ditekan guna menjaga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi untuk pembangunan nasional.

Realitas seperti itu memang membuat pergeseran dalam bentuk interaksi sosial dan formasi sosial yang erat keterkaitannya dengan kehidupan politik dan sosio-cultural yang ada. Tetapi dalam realitas ini, telah menghasilkan suatu realitas yang nyata-nyata menjadi bisa bagi bangsa Indonesia hingga sekarang ini. Realitas yang nyata itu adalah, tumbuhnya perbedaan besar antara kemiskinan absolut, bersumber pada kurangnya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan realitas yang nyata lainnya adalah, kemiskinan relatif, merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi, kemiskinan adalah harga yang harus dibayar pada satu pihak demi kemakmuran pada pihak lain. Krisis multidimensional.

Sedangkan para ilmuwan sosial, tidak langsung menaruh perhatiannya pada realitas sosial atau dapat dikatakan pada masalah pembelaan hak-hak rakyat. Namun ilmuwan sosial, yang selalu terbentur oleh realitas yang terjadi karena pembangunan nasional menjadikan para ilmuwan tersebut lebih tertarik pada perubahan-perubahan dalam kelembagaan sosial dan wawasan nilai, yang diperlukan oleh adanya perubahan tatanan keadaan semata.

Ilmuwan sosial dalam hal ini hanya dapat menguraikan bentuk kerjanya ke restrukturisasi yang merupakan reformasi sistem sosial, menunjukan pada perubahan termaksud ditingkat masyarakat yang terdiri atas formasi bentuk-bentuk interaksi sosial baru. Disinilah bentangan aktualisasi permasalahan di atas terlihat jelas adanya dikotomis atau fragmentasi, tidak holistik, minim etika, statis atau monoton dan tidak bebas nilai, ilmuwan bersikap seperti “nabi-nabi baru” yang hanya menyiarkan wahyu semata dan tidak secara emansipatoris fungsi sosialnya. Walaupun begitu, ilmuwan sosial tetap berperan penting dalam rekayasa sosial yang dapat menyusun kembali lembaga-lembaga sosial atau dalam menawarkan reorientasi terhadap masalah-masalah budaya.



Pun keadaan ilmu sosial tidak jauh perkembangannya, setelah polemik yang sangat panjang dalam suatu prosa ilmu sosial. Ilmu sosial dapat diterangkan atau ditafsirkan sebagai disiplin ilmu yang tidak netral, teori maupun konsepsi yang ada pada posisi tertekan di era orde baru tidak sekedar memiliki kapasitas menjelaskan atau menafsirkan tetapi, juga memiliki potensi melegitimasi dan mendelegetimasi. Dengan begitu, restrukturisasi lembaga-lembaga sosial dan reorientasi nilai-nilai budaya dapat dipermudah atau dihambat oleh teori-teori ilmu sosial yang sesuai dengan kebutuhan ataupun kepentingan para ilmuwan sosial.

Para aktivis pergerakan dalam bentuk realitas sosial sepeti ini lebih memainkan peranan walaupun, kadang tidak terukir dalam perubahan sejarah sosial. Dan reaktualisasi dari keadaan ilmu sosial di Indonesia khususnya, sudah kita dapatkan ilustrasinya yaitu, ilmuwan sosial pada era orde baru hanya berfungsi sebatas fungsi instrumentalis saja dan berkesan “mendukung” rezim orde baru. Menjadikan ilmu sosial tidak berkembang.

Menjadi suatu keharusan, bahwa seharusnya komunitas ilmiah dari ilmuwan sosial bukan hanya menciptakan kreatifitasnya dalam ilmunya saja yang berfungsi sosial (pemikirannya). Tetapi lebih dari itu, tempat berkumpul untuk mempertemukan manusia-manusia yang menyusun ide-ide, tempat aksi dan refleksi serta bertemu secara periodik.



Sumber bacaan :

1. Kleden, Ignas. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi

Perspektif Asia Tenggara, 2000, Jakarta

2. Hasan, Abu. Pendidikan di Indonesia, Komunitas Filsafat Kebudayaan, 2000,

Jakarta

3. Hasan, Abu. Pembangunan Nasional dan Demokratisasi di Indonesia, Komunitas

Filsafat Kebudayaan, 2000, Jakarta

4. al-Makassary, Ridwan. Kematian Manusia Modern, UII Press, 2000, Yogyakarta

Ini Masalah Orang atau Sistem?

Sabtu, 15 Maret 2003

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/15/pustaka/182539.htm

Ini Masalah Orang atau Sistem?

PERTANYAAN yang menjadi judul tulisan ini kerap kali terdengar mulai dari obrolan santai para tukang ojek hingga makalah ilmiah yang rumit. Misalnya saja, ketika mempersoalkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Aneka jawaban biasanya berkisar antara "Sistemnya sudah baik tapi mentalitas pejabatnya masih kacau" atau "Rakyat tidak berdaya karena sistemnya telanjur korup."

Di balik pertanyaan tersebut sebenarnya tersembunyi sebuah teka-teki terpenting yang senantiasa menghantui ilmu-ilmu sosial. Mana lebih penting, pelaku atau struktur? Teka-teki ini muncul dari kenyataan paling elementer bahwa orang mengerjakan ini dan bukan itu. Misalnya, seorang buruh tetap mau bekerja meskipun upahnya kecil, atau orang Yogyakarta suka naik motor dan bukan bus.

Untuk menjelaskan peristiwa tersebut, fungsionalisme yang digagas Talcott Parsons menekankan fungsi sosial yang menuntun pelaku. Marxisme menunjuk pada struktur proses produksi yang mengekang kapasitas bebas individu. Fungsionalisme dan marxisme adalah penjelasan yang bisa dikelompokkan dalam kubu besar strukturalisme-fungsionalisme yang memenangkan struktur di atas pelaku.

Begitulah, teka-teki besar itu dijawab dengan dualisme pelaku/struktur. Masalahnya, dualisme tersebut selalu gagal memberi penjelasan secara memadai karena selalu jatuh pada salah satu ekstrem. Menerobos kebekuan dualisme inilah yang menjadi agendum pokok yang dikerjakan oleh Anthony Giddens, seperti diterangkan dalam buku ini.

B Herry-Priyono, penulisnya, membagi bukunya dalam tiga bagian. Pertama adalah contoh refleksi kritis Giddens terhadap fungsionalisme dan strukturalisme/post-strukturalisme. Kedua adalah terobosan teoretis Giddens yang berpusat pada teori strukturasi. Bagian ketiga menyajikan contoh ringkas penerapan teori tersebut.

GIDDENS menamai teorinya strukturasi (theory of structuration). Menepis dualisme (pertentangan), Giddens mengajukan gagasan dualitas (timbal-balik) antara pelaku dan struktur (hlm18). Bersama sentralitas waktu dan ruang, dualitas pelaku dan struktur menjadi dua tema sentral yang menjadi poros teori strukturasi. Dualitas berarti, tindakan dan struktur saling mengandaikan.

Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku seperti dipahami oleh Durkheim dan diteruskan oleh strukturalisme. Struktur adalah aturan dan sumber daya (rules and resources) yang mewujud pada saat diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial. Dalam arti ini, struktur tidak hanya mengekang (constraining) atau membatasi pelaku, melainkan juga memungkinkan (enabling) terjadinya praktik sosial.

Sementara itu, sentralitas waktu dan ruang diajukan untuk memecah kebuntuan dualisme statik/dinamik, sinkroni/diakroni, atau stabilitas/perubahan. Dualisme seperti ini terjadi karena waktu dan ruang biasanya diperlakukan sebagai panggung atau konteks bagi tindakan.

Mengambil inspirasi filsafat waktu Heidegger, Giddens merumuskan waktu dan ruang sebagai unsur yang konstitutif bagi tindakan. Tidak ada tindakan tanpa waktu dan ruang. Karena itu, tidak ada peristiwa yang melulu statik atau melulu dinamik.

Sedemikian sentral waktu dan ruang bagi Giddens hingga ia mengatakan bahwa keduanya harus menjadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial. (hlm 20). Atas dasar dua tema sentral tadi, Giddens membangun teori strukturasi dan menafsirkan kembali fenomen-fenomen modern, seperti negara-bangsa, globalisasi, ideologi, dan identitas.

Teori strukturasi jelas merupakan tantangan terhadap teori-teori yang sudah mapan secara akademis. Hal ini semakin benar menyangkut dunia akademik di Indonesia. Selama ini fungsionalisme telanjur menjadi dewa, baik di antara para pengajar, peneliti, maupun orang kebanyakan.

Baru pada pertengahan dasawarsa 1990-an, strukturalisme dan post-strukturalisme mulai populer dengan terbitnya buku-buku terjemahan karya Derrida dan Foucault. Begitupun, fungsionalisme masih sukar ditandingi terutama di lembaga perkuliahan resmi. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial Indonesia macet dan gagal menerangkan fenomena baru.

GIDDENS terkenal sebagai penulis yang gemar berpanjang kata sehingga karya-karya teoretisnya pun begitu tebal. Kalimat-kalimatnya amat teknis dan memakai kombinasi kata-kata baru yang bahkan dalam bahasa Inggris belum dikenal.

Menurut saya, penulis buku ini berhasil menyajikan pemikiran Giddens dengan jelas dan cukup sederhana, apalagi diperkaya oleh banyak contoh yang jarang ada pada karya Giddens. Buku ini amat menarik dan akan membantu para peminat teori ilmu-ilmu sosial.

Sekalipun demikian, ada beberapa hal yang harus masuk dalam buku kecil ini. Pertama, buku ini baru menerangkan strukturasi yang terjadi pada tingkat pelaku individual. Masih ada dualisme individu/masyarakat yang juga sentral dalam teori ilmu-ilmu sosial. Pertanyaannya adalah bagaimana individu-individu pada tingkat tertentu bertindak secara terorganisasi tanpa saling sikut.

Dalam terminologi teori strukturasi, persoalan ini berada di bawah judul integrasi sosial (social integration). Terinspirasi oleh teori perjumpaan Erving Goffman, Giddens mendefinisikan masyarakat sebagai perjumpaan antar-individu yang terus-menerus.

Perjumpaan diatur oleh mekanisme-mekanisme dualitas pelaku dan struktur. Kemudian, memakai teori waktu-geografi Hägerstrand, Giddens menerangkan bahwa perjumpaan terjadi karena konvergensi waktu-ruang, dan mobilisasi waktu-ruang merupakan poros eksistensi masyarakat.

Kedua, pada catatan untuk bab V (hlm 91-92), penulis buku ini mengajukan tiga catatan kritis terhadap teori strukturasi. Ketiga kritik ini hanya menyentuh satu dari dua tema sentral teori strukturasi yaitu dualitas pelaku dan struktur. Kalau mau adil, kritik terhadap dualitas ini bisa dilanjutkan untuk mempersoalkan perlakuan Giddens terhadap waktu.

Benar bahwa sifat dualisme tidak selalu bisa dihapus dari hubungan antara pelaku dan struktur. Dualitas pelaku dan struktur menunjukkan bahwa seluruhnya adalah proses dan tidak ada hasil. Akibatnya, dualitas tadi tidak bisa menjawab pertanyaan kapan: kapan struktur yang mengekang lebih dominan atau kapan pelaku yang transformatif lebih menonjol dalam satu momentum tertentu?

Ketiga, ada baiknya, di bagian akhir buku ini disusun semacam kamus kecil atau glossary yang memuat istilahistilah baru yang kerap dipakai Giddens. Cara ini dipakai sendiri oleh Giddens dalam buku babonnya, The Constitution of Society (1984). Niscaya pembaca akan makin terbantu untuk memulai proses belajarnya bersama Giddens.

B Hari Juliawan, Mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

"In Memoriam" Prof Dr Selo Soemardjan

"In Memoriam" Prof Dr Selo Soemardjan

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/12/utama/364906.htm
Kamis, 12 Juni 2003

Oleh Paulus wirutomo

Ia lahir di Yogyakarta tanggal 23 Mei, tepat 88 tahun yang lalu, suatu angka yang amat indah, seindah pribadinya. Selo Soemardjan amat mencintai Kota Yogyakarta. Bukan hanya karena dia dilahirkan di sana, tetapi sebagai "wong Jowo" yang amat loyal pada kejawaannya, dia telah berhasil merebut hati sang raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX sehingga kini dia menjadi warga Keraton Yogyakarta. Suatu kebanggaan dan kebahagiaan yang tak pernah dapat disembunyikannya!

Nama Selo Soemardjan selalu melekat dengan sosiologi. Ilmu itu sebenarnya baru benar-benar ditekuni pada saat usianya sudah di atas empat puluh tahun, yaitu ketika ia pada tahun 1956 memperoleh kesempatan menuntut ilmu di Cornell University, Amerika Serikat. Di sinilah bekas camat lulusan Mosvia (tingkat SLTA) ini menunjukkan kehebatannya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun beliau boleh pulang ke Tanah Air dengan menyandang gelar PhD di bidang sosiologi. Disertasinya "Social Changes in Jogyakarta" pun dibukukan dan banyak menjadi acuan sarjana luar negeri yang menulis tentang perubahan sosial di Indonesia pascakemerdekaan.

Sejak itu kegiatan Selo Soemardjan hampir tak ada habisnya untuk mengembangkan sosiologi dan bahkan ilmu sosial lainnya di Tanah Air. Dia memperoleh gelar profesor dari fakultas ekonomi, hanya satu tahun setelah kembali ke Tanah Air. Dia adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia beliau menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Di luar UI, tokoh yang "tidak bisa diam" ini mendirikan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial bersama koleganya yang berasal dari berbagai bidang ilmu sosial. Yayasan itu amat banyak memberikan sumbangan penting dalam sejarah perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Selo adalah ketua yayasan tersebut sampai tahun 2001.

Tahun 1972 bersama rekan-rekannya mendirikan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial dan tahun 1980 ikut membidani lahirnya Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI).

Tidak mengherankan bila para sosiolog di Indonesia (yang hampir semua adalah bekas muridnya) mengangkat beliau sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Sedemikian lekatnya sosiologi dengan Selo Soemardjan sampai seorang mantan asistennya, Drs Wahyu Sardono (almarhum), memelesetkannya menjadi "Selologi".

Selo Soemardjan bukan seorang sosiolog yang sophisticated. Pemikiran-pemikirannya sederhana saja, bahkan kalau ikut kuliahnya tidak kalah asyiknya dengan mendengarkan Srimulat karena banyak sekali lelucon beliau yang memang benar-benar lucu! Beliau pernah cerita: waktu jadi carik di suatu kecamatan di daerah Yogyakarta, aturan sopan santun amat ketat. Seorang carik harus bersila di lantai dan tidak boleh memandang wajah tamu-tamu yang datang. "Akhirnya saya jadi hafal semua bentuk kaki para tamu dan pegawai di kecamatan!" ujarnya.

Sense of humor Selo kadang-kadang agak "keterlaluan". Misalnya, penerbit salah satu bukunya menawarkan suatu judul Komitmen Selo Soemardjan. Menanggapi itu, beliau dengan enteng mengatakan, "Ah... ngapain pake komat-kamit segala!" Akhirnya (mungkin setengah jengkel), penerbit memberi judul buku itu: Komat-Kamit Selo Soemardjan dan ternyata sang profesor senang dengan judul aneh itu!

Sebagai sosiolog, Selo Soemardjan bukan terkenal karena teorinya yang rumit, tetapi justru karena "action"-nya. Ia benar-benar the man of action! Pada tahun l995 beliau terkena stroke dan dokter melarangnya untuk berpikir yang berat dan serius, kalau ingin umur panjang.

Mula-mula ia patuh dan sehari-hari hanya main dengan cucunya. Belum satu bulan beliau tak tahan. "Saya tidak bisa hidup seperti ini!" Dan, beliau pun nekat mulai berdiskusi, memberi kuliah, menulis, dan sebagainya. Ternyata kesehatannya malah pulih dan pada saat Kampus UI menggelar gerakan reformasi, sang profesor berada di tengah-tengah mahasiswa!

Ketika pecah konflik di berbagai daerah beberapa tahun lalu, Selo tak bisa tinggal diam. Ia bukan hanya menganalisis dan memberi saran dari belakang meja, tetapi datang ke berbagai daerah konflik, sampai-sampai pernah akan dihakimi oleh massa yang sedang kalap! Sungguh tindakan yang berani dari seseorang yang memang pernah terjun langsung menjadi gerilya di zaman revolusi.

Di samping Social Changes in Jogyakarta, Selo juga menghasilkan tak terhitung tulisan ilmiah di bidang sosiologi, beberapa buku beliau yang lain. Salah satunya, Setangkai Bunga Sosiologi yang ditulis bersama sahabatnya, Soelaiman Soemardi. Buku-buku terakhirnya, misalnya, Kisah Perjuangan Reformasi (1999) yang ditulisnya bersama-sama dengan para sosiolog muda dan Menuju Tata Indonesia Baru (2000).

Prof Selo dikenal dengan pemikirannya tentang "kemiskinan struktural". Beliau mengingatkan bahwa kemiskinan di Indonesia bukan hanya karena orang Indonesia memang tidak memiliki etos kerja yang tinggi sehingga menjadi miskin, tetapi kemiskinan itu lebih merupakan impitan struktur yang berupa aturan, kebijakan, dan praktik-praktik birokrasi yang membuat orang miskin selalu jatuh lagi ke dalam kemiskinan.

Sebagai sosiolog yang menekuni studi di pedesaan, beliau mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah pusat pada zaman Orde Baru (Orba) yang ingin menyeragamkan bentuk pemerintahan desa di seluruh Indonesia telah menyebabkan desa-desa adat kehilangan mekanisme adat dan kepemimpinannya, yang sebetulnya memiliki "wibawa" yang tinggi pada masyarakat lokal. Karena itu, ketika terjadi konflik antarwarga pada masa pasca-Orba, pemerintah kelurahan yang dibentuk pemerintah pusat kurang efektif mengendalikan konflik horizontal antarwarga tersebut. Pada masa reformasi ini Prof Selo aktif untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat di daerah-daerah.

Keprihatinan Pak Selo akhir-akhir ini-seperti diungkapkannya kepada beberapa asisten dan mantan murid beliau-adalah "bagaimana nasib Negara Kesatuan RI ini setelah amandemen UUD 1945?" Beliau berpesan agar sebelum MPR bersidang lagi bulan Agustus mendatang, para sosiolog-yang selama ini tampak tidak banyak berkomentar tentang amandemen UUD 1945-mengadakan suatu pertemuan ilmiah untuk membahas hal itu dan menyumbangkan pemikirannya kepada para wakil rakyat.

Prof Selo memang tidak akan pernah bisa menghadiri pertemuan ilmiah itu karena kemarin siang pukul 13.00 Tuhan telah memanggilnya. Akan tetapi, spirit beliau tetap akan menyertai kita karena… old soldier never die!

Semoga beliau diberi tempat yang nikmat di sisi-Nya. Amin! *

Quo Vadis Pendidikan IPS di Indonesia

Quo Vadis Pendidikan IPS di Indonesia
Written by Drs. Arief Achmad MSP., M.Pd.
Wednesday, 22 December 2004

http://www.puskur.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=14&Itemid=43

Menyongsong Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)

Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A., guru besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UPI Bandung, mensinyalir + 60% guru PIPS di Indonesia tidak berlatar belakang pendidikan IPS. Sinyalemen ini dikemukakannya pada saat Seminar Nasional dan Musyawaroh Daerah I Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) Jawa Barat, di Bandung (31 Oktober 2002).

Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya apabila dalam kenyataan hidup di masyarakat, mata pelajaran IPS dalam pandangan orang tua siswa menempati kedudukan "kelas dua" dibandingkan dengan posisi IPA, demikian penegasan Prof. Dr. Nursid Sumaatmadja, dalam momentum seminar yang sama.

Sementara itu, pakar PIPS lainnya (seperti Prof. Nu`man Somantri, M.Sc.Ed, Prof. Dr. Azis Wahab, M.A., dan Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, S.H. M.Pd.) mengungkapkan, bahwa proses pembelajaran IPS di tingkat persekolahan mengandung beberapa kelemahan seperti digambarkan dalam tabel di bawah ini beserta faktor-faktor yang menyebabkannya :

Tabel 1 Analisis Kelemahan Proses Pembelajaran PIPS di Tingkat Persekolahan dan Faktor-Faktor yang Menyebabkannya

No. Uraian Kelemahan Proses Pembelajaran Faktor Penyebab

1. Kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi , dan peran PIPS di sekolah Tujuan pembelajaran kurang jelas dan tidak tegas (not purposeful)
2. Posisi, peran, dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan Informasi faktual lebih bertumpu pada buku paket yang out of date dan kurang mendayagunakan sumbr-sumber lainnya
3. Lemahnya transfer informasi konsep ilmu-ilmu sosial Out put PIPS tidak memberi tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan (not empowering and not powerful)
4. Guru tidak dapat meyakinkan siswa untuk belajar PIPS lebih bergairan dan bersungguh-sungguh Siswa tidak dibelajarkan untuk membangun konseptualisasi yang mandiri
5. Guru lebih mendominasi siswa (teacher centered) Kadar pembelajaran yang rendah, kebutuhan belajar siswa tidak terlayani
6. Belum membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan seluruh komunitas sekolah dalam berbagai aktivitas kelas dan sekolah Dalam pertemuan kelas tidak menggagendakan setting lokal, nasional, dan global, khususnya berkaitan dengan struktur sistem sosial dan perilaku kemasyarakatan

IPS tidak sama dengan Ilmu-ilmu Sosial

Pendidikan IPS adalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu. Sehingga baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, maupun ilmu pendidikan tidak akan ditemukan adanya sub-sub disiplin PIPS, yang dalam kepustakaan National Council for Social Studies (NCSS) dan Social Science Education Council (SSEC) disebut "social studies" dan "social science education". Sementara itu, IPS sendiri didefinisikan sebagai

... the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. (NCSS, 2003)

Ini berarti PIPS mencakup kajian terpadu ilmu-ilmu sosial (seperti : antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi) serta diperluas dengan materi humaniora, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Selanjutnya, tujuan PIPS adalah

"to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world" (NCSS, 2003).

Sedangkan Forum Komunikasi II HISPIPSI (1991) di Yogyakarta telah mendefinisikan PIPS sebagai

penyederhanaan atau adapatasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan

PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).

Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah

..mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah

PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan.

Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).

Perbedaan antara ilmu-ilmu sosial dan PIPS, menurut Frasser and West (1993), terletak pada "systematically structured bodies of scholarly content and psychologically structures selection of instructional content".

Menengok Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Dari berbagai dokumen yang dirilis dan disosialisasikan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, akan tampak sebaran mata pelajaran PIPS di dalam struktur kurikulum di berbagai jenjang pendidikan, seperti tampak di dalam matriks di bawah ini

Tabel 2 Matriks Sebaran Mata Pelajaran PIPS di dalam Struktur KBK Jenjang Pendidikan Nama Mata Pelajaran PIPS Diberikan di Kelas Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah

Dari matriks di atas terlihat, semakin meneguhkan menguatnya tradisi dan konsep pemikiran para ahli ilmu-ilmu sosial (semenjak kurikulum PIPS 1975 hingga KBK), sehingga kurang adaptif dengan inovasi hasil pemikiran para ahli PIPS. Hal ini berdampak pada model pengembangan kurikulum yang digunakan serta arah implementasinya.

Model pengembangan KBK, secara teoritik, untuk menyempurnakan model kurikulum sebelumnya yang banyak menggunakan pendekatan sistem instruksional yang selama ini dinilai kurang tepat dengan tuntutan peningkatan mutu.

Beberapa Implikasi

Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) akan berhasil meningkatkan mutu pembelajaran PIPS di Indonesia apabila diikuti dengan pengembangan berbagai model pembelajaran yang selama ini sering terabaikan. Intinya : KBK PIPS perlu dilengkapi dengan Pembelajaran Berbasis Kompetensi (PBK) PIPS.

Karena pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum memiliki potensi untuk lebih dekat dengan "materi subyek" daripada "materi pedagogis", dengan demikian PIPS lebih akrab dengan pola pikir ilmuwan sosial daripada kepentingan dan kebutuhan serta kapasitas perkembangan berpikir sosial peserta didik.

Untuk itu, pengembangan model pengintegrasian isi pelajaran dengan pedagogis dipandang tepat untuk memfungsionalkan materi pelajaran bagi pengembangan potensi pembelajaran, sekaligus untuk memberikan keseimbangan antara pendekatan proses dan pendekatan tujuan.

Penutup

Sanggupkah guru-guru PIPS, yang sebagian terbesar tidak berlatar belakang PIPS di berbagai jenjang dan jenis pendidikan mengaplikasikannya secara praksis? Waktu dan mereka sendirilah yang akan membuktikannya.

Pustaka Acuan

* Al Muchtar, S. (2002). "Analisis Pembaharuan Kurikulum Pendidikan IPS". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung, 31 Oktober 2002.
* Depdikbud. (1994). Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Pusbangkurandik.
* Depdikbud. (1994). Kurikulum SMU. Jakarta : Pusbangkurandik.
* Depdikbud. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Puskur Balitbang.
* Fraser and West. (1993). Social Studies in Secondary School. The Ronald Press.
* Hasan, S.H. (1996). "Relevansi Pendidikan IPS di Perguruan Tinggi dengan Pendidikan IPS di Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung, 31 Oktober 2002.
* NCSS. (1998). Curriculum Standard for Social Studies. Washington, D.C. : NCSS.
* Sanusi, A. (1998). Pendidikan Alternatif : Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung : PPS IKIP Bandung dan PT. Grafindo Media Pratama.
* Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : PPS-UPI dan PT. Remadja Rosda Karya.
* Sumaatmadja, N. (2002). "Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung. 31 Oktober 2002.
* Wahab, A.A. (2002). "Tantangan Pembelajaran PIPS di Sekolah". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung. 31 Oktober 2002.
* Wiriaatmadja, R. (2002). "Pembelajran IPS pada tingkat Sekolah Dasar". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung. 31 Oktober 2002.

Monday, September 26, 2005

Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi

Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi

Sabtu, 04 September 2004

Jakarta, Kompas - Pendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang jelas. Dari hari ke hari manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian cerdas, tetapi mutunya semakin menurun meski input fasilitas fisiknya terus bertambah. Ketidakjelasan arah pendidikan itu menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-negara lain, bahkan di wilayah Asia Tenggara sekalipun.

"Kebijakan pendidikan kita tidak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite eksklusif dengan kurikulum elitis yang hanya bisa ditangkap oleh 30 persen anak didik," kata Dr Mochtar Buchori, mantan Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta, Jumat (3/9).

Keprihatinan terhadap pendidikan Indonesia yang bergerak tanpa arah yang jelas, kegagalan perguruan tinggi yang diunggulkan di dalam negeri berkompetisi di tingkat global dan regional, bahkan pencapaian kuantitatif pendidikan Indonesia yang mulai dikejar negara-negara kecil, yang selama ini tidak diperhitungkan, muncul pula dalam diskusi panel ahli yang diselenggarakan redaksi Kompas baru-baru ini.

Liputan pendidikan sejumlah wartawan Kompas ke sejumlah negara yang dimuat dalam rubrik Fokus hari ini makin mengukuhkan keprihatinan itu.

Dr Francis Wahono, aktivis organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang pendidikan di masyarakat bawah, mengemukakan, apabila proses involusi yang tengah terjadi dalam pendidikan di Indonesia dibiarkan terus berlangsung, dalam kurun waktu tujuh sampai sepuluh tahun mendatang Indonesia akan menjadi bangsa paria di kawasan Asia Tenggara. "Kinerja sektor pendidikan kita sungguh mengenaskan. Indeks pembangunan manusia (HDI), yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-111, mencerminkan betapa miskinnya pemikiran dan kacaunya penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air," kata Wahono.

Salah kaprah

Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Ace Suryadi mengatakan, investasi pendidikan yang dilakukan sejak pemerintahan Soeharto telah salah kaprah. Perluasan pendidikan tanpa memerhatikan mutu-seperti pada masa Orde Baru-jika dilanjutkan hanya akan menabrak batu. Menurut Ace, sejak reformasi bergulir sampai sekarang belum ada restrukturisasi program pendidikan yang berarti. Penambahan dana pendidikan saja, jika tanpa diikuti restrukturisasi dalam proses pembangunan pendidikan, tak akan banyak memperbaiki situasi pendidikan di Indonesia.

"Dari dulu sampai sekarang, kebijakan pendidikan kita masih terlalu umum. Belum ada kebijakan besar dalam pendidikan, misalnya untuk mengejar keunggulan sampai tahun 2020," kata Ace.

Menurut Buchori, sistem pendidikan yang diberlakukan saat ini merupakan kelanjutan dari sistem yang bersifat elitis eksklusif. Kurikulum hanya bisa diikuti oleh 30 persen dari peserta didik, sedangkan 70 persen lainnya tak bisa mengikuti. Ketika jumlah yang 70 persen itu dipaksakan terus mengikuti, terjadi pengatrolan-pengatrolan dan sebagainya, yang merusak nilai-nilai pendidikan.

Untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik dan bersifat massal, lanjut Buchori, sistem itu harus diubah. Pendidikan dibagi menjadi dua jalur: jalur anak-anak berbakat dan jalur untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata. Untuk menopang kemajuan suatu negara, tambahnya, perlu diciptakan kelompok ilmuwan yang elitis tetapi bersifat inklusif. Suatu kelompok kecil orang-orang yang sangat pintar yang tidak arogan, peduli pada nasib orang lain, dan punya semangat egaliter. Pada lapisan lainnya adalah kelompok profesional yang andal dan masyarakat kebanyakan yang melek huruf dalam arti luas.

"Untuk menciptakan lapisan elite yang unggul memang perlu dibentuk lembaga-lembaga pendidikan yang elitis, tetapi juga memiliki semangat egaliter. Jadi, jangan terlalu berlebihan, sampai menyediakan fasilitas pacuan kuda dan lain- lainnya. Sikap berlebih-lebihan itu yang menimbulkan kesan bahwa pendidikan hanya untuk orang-orang kaya," katanya.

Salah arah

Guru besar bidang linguistik Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo mengemukakan, banyak kebijakan pendidikan di Indonesia yang salah arah. Akan tetapi, menurut dia, dalam membangun pendidikan tidak perlu terlalu menyalahkan dan menggantungkan diri pada pemerintah. Di Amerika Serikat pun, kata Soenjono yang pernah memimpin sebuah jurusan di Universitas Hawaii, perguruan tinggi yang unggul justru perguruan tinggi swasta.

"Untuk mengembangkan pendidikan, kita tidak bisa bergantung pada dana pemerintah. Biarkan tumbuh universitas- universitas swasta yang dikelola seperti perusahaan atau industri. Lembaga pendidikan memang harus dikelola seperti badan usaha. Asalkan dijamin bahwa keuntungannya akan dikembalikan untuk peningkatan mutu lembaga pendidikan itu," katanya. (wis)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/04/utama/1248649.htm

Tuesday, July 12, 2005

Potret yang Mengkhawatirkan

Kamis, 26 Mei 2005,
Potret yang Mengkhawatirkan

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=172884

WAJAH kualitas guru di Indonesia memang belum berubah. Boleh dikatakan, malah tambah mengkhawatirkan. Data terbaru ditunjukkan oleh penelitian Direktorat Tenaga Kependidikan (Ditendik) Depdiknas pada 2004. Hasilnya cukup mengejutkan: 61,96 persen guru SD ternyata tidak menguasai materi pelajaran.

Kecemasan itu diungkapkan Dirjen Ditendik Suwondo. Dia menyebut, hasil riset terhadap 29.238 guru SD secara nasional menyebutkan bahwa 63,13 persen guru bahasa Indonesia tidak menguasai materi mata pelajarannya. Untuk mata pelajaran IPS, jumlahnya 63,53 persen, mata pelajaran IPA 65,29 persen, dan matematika 66,13 persen.

"Harus kita akui, dari hasil penelitian itu, secara umun, rata-rata tingkat penguasaan substansi materi uji kompetensi profesional guru SD juga masih sangat rendah, yakni 38,04 persen. Jangan heran, bila hasil atau mutu pendidikan di republik ini kian merosot," ujar Suwondo.

Tak kalah buruk diperlihatkan klasifikasi hasil uji kompetensi pada kompetensi profesional 15.186 guru SD nasional pada 2004. Jika diklasifikasi, rata-rata guru ini (63,1 persen) hanya mengantongi nilai D dalam uji kompetensi profesional. Di mata pelajaran bahasa Indonesia, 60,3 persen mengantongi nilai D. Nilai A hanya 0,2 persen. Pada mata pelajaran IPS, 66,4 persen mengantungi nilai D, sedangkan nilai A nol persen. Pada pelajaran IPA, 53,1 persen mengantongi nilai D, nilai A hanya 0,2 persen. Mata pelajaran matematika 72,7 persen nilai D, nilai A nol persen. Untuk mata pelajaran PWK, nilai D63,2 persen, nilai A nol persen.

Potret serupa juga terlihat pada guru SMP, SMA, SMK, dan SLB. Bahkan, kompetensinya dianggap kurang terstandar, malah nyaris tidak mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan. Kalau sudah begitu, apa mau dikata?

Berdasar catatan Ditendik, diketahui jumlah guru negeri dan swasta secara nasional pada 2004 adalah 2.219.872 guru. Mereka terdiri atas 1.561.837 PNS, 658.035 guru tidak tetap, dan guru tetap yayasan. Kebutuhan riil di lapangan, kata Suwondo, mencapai 2.647.772 guru.

Melihat fakta itu, menurut Prof Dr Nani Tutoli, mantan kepala Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) UT Gorontalo, saatnya pemerintah dan masyarakat membuka strategi lain. Memperbaiki kualitas bisa dimulai dari diri sendiri dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada di era sekarang ini.

"Banyak variasi dan diversifikasi asal mahasiswa yang ingin mengabdikan diri sebagai guru yang sangat baik dari segi sosio ekonomi, lokasi domisili, geografi, status pekerjaan, usia, jenis kelamin, dan aspek lainnya. SPJJ ini bisa menjadi bagian dari strategi nasional yang terintegrasi dalam kebijakan nasional pendidikan. Sehingga mewujudkan SDM berkualitas bisa ditempuh secara mandiri, tidak terpaku pada pakem konvensional saja," tandas Nani. (wda)

Wednesday, July 06, 2005

Nilai Pendidikan Indonesia E

Kamis, 30 Juni 2005
Survei Asia Pasifik
Nilai Pendidikan Indonesia E

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=203484&kat_id=13

JAKARTA -- Khusus indikator pendidikan gratis dan bermutu, Indonesia diberi nilai F. Di tengah euforia negeri ini soal pendidikan gratis, kabar tak sedap justru muncul dari luar negeri. Hasil riset dua lembaga internasional, Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPABE) dan Global Campaign for Education (GCE), menyatakan Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara di Asia Pasifik dalam pelaksanaan pendidikan dasar.

Dengan ranking jeblok itu Indonesia harus puas dengan nilai E. Ini sedikit lebih baik dibanding Papua Nugini, Nepal, Pakistan atau Kepulauan Solomon yang mengantungi nilai F. Malaysia, yang pada dasawarsa 1970-an masih 'mengimpor' guru dari Indonesia, memperoleh predikat A, bersama Thailand. Menurut aktivis Jaringan Pendidikan untuk Keadilan, M Firdaus, laporan ini muncul Jumat (24/6) pekan lalu. Adapun riset dilakukan ASPABE dan GCE pada Maret hingga Juni 2005 dengan metode survei dokumen. Data-data yang diolah kedua LSM ini dirujuk berdasarkan laporan tahunan UNESCO, data pemerintah negara setempat, penelitian akademis, survei internasional dan kompilasi data masyarakat sipil.

Kata Firdaus, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa jauh komitmen ke-14 negara Asia Pasifik dalam penyelenggaraan pendidikan dasar. Indikator yang dinilai meliputi tingkat penyelesaian pendidikan dasar, komitmen pemerintah dalam pendidikan gratis dan bermutu, pembangunan sarana, anggaran, kesetaraan gender, kesetaraan akses dan kesempatan. ''Dari semua indikator itu, Indonesia hanya diganjar nilai E,'' terang Firdaus, Rabu (29/6). Khusus indikator pendidikan gratis dan bermutu, kedua LSM memberi Indonesia nilai F. Lainnya E hingga B.

Dirjen Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Depdiknas, Fasli Jalal, mengakui buruknya pendidikan dasar di negeri ini. Menurut dia, hal itu tak lepas dari kompleksnya kondisi demografi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan populasi amat besar. ''Jadinya, potensial ada ketidakmerataan pendidikan. Ini memang tidak mudah,'' tutur Fasli. Pandangan senada dilontarkan Direktur Agama dan Pendidikan Bappenas, Nina Sardjueni, tingkat penyelesaian pendidikan dasar di Indonesia memang cenderung buruk. Data dari Bappenas pada 2003 menunjukkan sebanyak 21,87 persen penduduk Indonesia belum tamat SD. Dari total 200 juta penduduk Indonesia, lulusan SMA juga hanya sebesar 16,17 persen, sementara lulusan SMP 16,65 persen (Susenas 2003).

Ketidakmerataan pendidikan memang terasa. Data Bappenas 2003 memperlihatkan siswa miskin usia 16-18 tahun memiliki tingkat partisipasi 28,52 persen pada pendidikan dasar dan menengah. Bandingkan siswa kaya yang 75,62 persen. Pada level 13-15 tahun, tingkat partisipasi siswa miskin 67,23 persen, siswa kaya 93,98 persen. Kualitas tenaga pendidik juga tak kalah buruk. Data dari Balitbang Depdiknas 2004 menunjukkan 45,96 persen guru tidak memenuhi kualifikasi minimal untuk dapat mengajar. Penelitian Ditendik terhadap 29.238 guru SD secara nasional pada 2004 juga menyatakan 61,96 persen guru tidak menguasai materi. Meski setuju dengan hasil riset ASPBE dan GCE, Fasli mempertanyakan validitas penelitian itu. Kata dia, laporan kedua LSM didasarkan pada data-data 2001, sehingga sudah banyak perubahan. Namun, menurut M Firdaus dari Jaringan Pendidikan untuk Keadilan, survei didasarkan laporan tahunan.
( imy )

Wawancara dengan : ARIF RAHMAN

WAWANCARA TOKOH
http://edents.bravepages.com/edents%20online%20baru/wawancara-arif%20rahman.htm


Wawancara dengan : ARIF RAHMAN

(Pengamat dan Praktisi Pendidikan)

Oleh Dody HP dan Amar Ustadi A.



Sebagai pengamat pendidikan, menurut Bapak bagaimana mutu sumber daya manusia Indonesia saat ini apabila dibandingkan dengan negara lain ?

Sebelum kita membandingkan dengan negara lain kita perlu tahu bahwa indonesia itu terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau, penduduknya 210 juta, bahasa yang ada, yang teridentifikasi ada 583. Lalu suku induknya lebih dari 100 suku induk. Jadi kalau mau membandingkan dengan negara lain, variabelnya harus dengan negara yang hampir sama keadaannya. Dan di dunia ini tidak ada negara yang sama dengan Indonesia. Sehingga kalau kita mengadakan perbandingan, variabelnya kan harus sama. Sehingga saya pikir tidak adil jika mengadakan perbandingan, misalnya saja dengan Singapura. Singapura itu penduduknya sebanyak Rawamangun (tempat tinggal Arif Rahman-red). Lalu dibanding dengan Malaysia. Malaysia itu bahasanya hampir sama semuanya. Lalu dia negara yang homogen, Islam yang menjadi pegangan. Sedangkan kita negara yang menganut suatu kesatuan dalam keberbedaan. Nah melihat keadaan yang seperti itu, lalu sarana yang ditinggalkan penjajahan Belanda berbeda dengan yang ditinggalkan Inggris. Inggris memberikan infrastruktur yang cukup baik sedangkan Belanda tidak. Sehingga Indonesia ini betul-betul bangkit dari suatu semangat dia sendiri saja. Karena itu, saya tidak pernah terlalu gusar atau menjadi bereakasi sangat berlebihan terhadap mutu pendidikan. Dan mutu pendidikan itupun dinilai dari mutu intelektual atau akademis, tidak pernah dilihat mutu spiritualnya seperti apa. Jadi saya belum pernah mengadakan penelitian yang purna. Kalau saya melihat perbandingan dengan negara Vietnam, Thailand, Singapura, yang dibandingkan apanya ? sementara itu kita membina pendidikan dengan anggaran pendidikan yang sangat rendah sedangkan Malaysia meletakkan cukup tinggi. Jadi variabelnya beda. Kalau umpamanya kita dengan meletakkan anggaran belanja negara untuk pendidikan persentasenya sama saja. Mungkin cukup adil untuk dibandingkan.



Jadi menurut penilaian Bapak bagaimana ?

Saya itu dalam menilai manusia itu dari 5 variabel. Yang pertama dari kesehatan. Kedua dari tingkat spiritualnya. Yang ketiga dari tingkat emosionalnya. Yang keempat dari tingkat intelegensi akalnya. Lalu yang kelima dari tingkat sosialnya. Lima ini yang harus kita ukur. Dalam hal kesehatan, umpamanya orang yang usianya 22 tahun maka sebaiknya tingginya berapa ?. Mungkin tinggi idealnya itu 174 cm untuk laki-laki. Lalu berat badannya berapa ? Mungkin berat badannya paling bagus 64 kg. Secara merata bagaimana keadaan jasmani generasi muda kita. Coba saja diukur. Dan ini yang dicapai oleh negara-negara seperti Jepang. Meskipun Jepang itu negara asia tapi tingginya menyamai orang-orang eropa. Dan sekarang pun negara eropa yang tidak makmur pun tinggi badannya tidak terlalu tinggi.

Jadi sekali lagi saya tidak mau memperbandingkan mutu pendidikan Indonesia dengan negara lain. Indonesia hanya memberikan sedikit untuk anggaran pendidikan sementara negara lain seperti Singapura memberikan banyak. Kalau memang uangnya saja sedikit maka masuk di akal saja apabila mutunya juga kecil.



Bagaimana dengan dinaikkan anggaran pendidikan sebesar 24% oleh pemerintah ?

Kita harus menghitung sebenarnya kenaikannya itu berapa ? Kenaikan anggaran itu kalau dihitung sebenarnya hanya 3,5 persen.



Tapi masih ada peluang kan Pak ?

Kalau peluang sih ada saja, asalkan ada kemauan.

Kalau misalnya saya punya uang, taruhlah 600 ribu, maka apa yang harus saya beli jika ingin lebih pandai. Mungkin yang 600 ribu tadi saya sisihkan untuk beli buku, tidak lagi beli pot atau beli baju. Dan sekarang di Indonesia juga begitu, sudahlah berhenti, jangan bangun jalan. Sekarang bangun sekolah. Kesejahteraan gurunya diperbaiki. Mungkin keadaannya akan menjadi lebih baik.



Menurut bapak apakah ada yang salah dengan sistem pendidikan kita ?

Tidak, menurut saya tidak ada yang salah dalam sistem pendidikan. Memang negara ini tidak mempunyai uang. Yang kita punya adalah utang. Karena itu kalau memperbaiki pendidikan di Indonesia maka pendidikan ini harus ditopang oleh pemberdayaan masyarakat. Tidak bersandar lagi sama pemerintah, tapi kepada masyarakat. Sehingga kalau nanti umpamanya ada sekolah yang tidak terlalu bermutu yang salah adalah masyarakatnya.

Tidak perlu adanya swastanisasi. Mau negeri atau swasta, kalau mutunya tidak bagus maka berarti daerah itu tidak mempunyai perhatian sama sekali pada sekolah itu. Dan ini yang harus diperbaiki.



Menurut bapak apa saja problem pendidikan di Indonesia sekarang ini ?

Menurut saya yang dirasa mendesak adalah pemerataan. Belum semua orang bisa pergi ke sekolah yang baik. Terus yang kedua adalah martabat guru. Guru di Indonesia itu gajinya lebih rendah dari supir pribadi di Jakarta. Sekarang perhatikan saja tidak ada anak ingin menjadi guru. Jarang ada anak yang prestasinya baik, ranking di sekolah, mau menjadi guru. Mereka biasanya semua ingin menjadi insinyur, jadi dokter. Yang menjadi guru itu adalah siswa yang nggak diterima dimana-mana. Dengan itu lalu kita akan mengalami mutu guru yang rendah. Dengan mutu guru yang rendah ini kita akan mengharap apa dari pendidikan itu. Kalau umpamanya gaji guru di Malaysia itu 6 juta satu bulan. Di Indonesia gaji guru ada yang 600 ribu satu bulan. Sedangkan gaji supir itu ada yang 1,5 juta setiap bulan. Tukang parkir saja pendapatannya ada yang lebih tinggi dari guru.

Permasalahan yang ketiga adalah kurikulum yang pada saat sekarang ini belum mendapatkan bentuk. Maksudnya kurikulum kita sedang mencari bentuk mana yang paling baik. Sehingga guru-guru sendiri juga dengan kurikulum itu bereksperimen. Dan kita harus pahami bahwa ini semua dilalui dengan suatu perjalanan yang panjang. Dan insya Allah akan menjadi lebih baik.

Dari martabat guru dan kurikulum itu yang menderita adalah proses belajar mengajar. Proses belajar mengajarnya akan terganggu.

Menurut saya itu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak, kurikulum yang bisa membentuk watak anak, kurikulum yang bisa memberikan ketrampilan pada anak. Bukan untuk hidup saja tetapi bisa untuk berteman (bersosialisasi). Pembentukan watak anak dirasakan penting karena selama ini dalam pengajaran soal moral dan budi pekerti (PPKN dan agama) yang diberikan hanya pengetahuan bukan penyikapan. Dan ini harus diubah.

Permasalahan yang keempat adalah fasilitas. Di daerah-daerah tertentu ada sekolah yang kelasnya hanya disekat-sekat oleh papan dan 6 kelas gurunya hanya ada 2. Mereka mengajar kelas yang berbeda secara bersamaan, bolak-balik. Dan hal itu banyak jumlahnya. Dan menurut saya yang paling salah adalah rakyat Indonesia sendiri. Mereka kelihatan tega dengan hal itu. Seharusnya kalau melihat keadaan sekolah seperti itu masyarakat (rakyat) jangan hanya berdiam diri saja. Masyarakat harus bangkit untuk memperbaiki. Jadi jangan hanya menyalahkan pemerintah saja. Lagi pula banyak permasalahan lain yang dihadapi pemerintah selain pendidikan.



Bagaimana menurut Bapak tentang rencana perubahan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ?

Ya… memang harus diubah. Banyak yang harus diubah. Banyak yang sudah tidak relevan.

Misalnya saja tentang kurikulum. Nanti kurikulumnya adalah kurikulum berbasis kompetensi. Selama ini pengajaran terlalu menekankan pada masalah kognisi (pengetahuan dan tahu), itu namanya basisnya kognisi. Kalau kompetensi lalu basisnya adalah ketrampilan, yang diukur adalah kemampuan. Pengajaran yang sekarang ada hanya sebatas teori dan prakteknya jarang sekali disentuh. Oleh karena itu kurikulum pengajaran harus diarahkan kesana (kurikulum berbasis kompetensi).



Bagaimana implikasi pelaksanaan otonomi daerah terhadap pendidikan ?

Menurut saya bagus. Otonomi daerah itu memberdayakan orang-orang di daerah untuk bisa mengambil keputusan sendiri. Membentuk organisasinya sendiri. Jadi jati dirinya lebih tinggi. Dia tidak hanya menjadi orang yang mau menerima saja, tetapi jadi orang yang menentukan. Dan orang yang menentukan itu berarti mempunyai jati diri dan jati diri sendiri sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahwa nantinya (dalam pelaksanaan) terdapat kesalahan, satu kali dua kali, itu tidak apa-apa. Itu bagus.



Tapi ada pendapat bahwa otonomi daerah malah akan memperlebar jurang mutu pendidikan antar daerah, itu bagaimana pak ?

Ya… kalau umpamanya daerahnya itu ada yang malas-malas dan diam saja maka mutunya juga tidak akan naik. Jadi semuanya harus kerja keras. Kalau semuanya kerja keras maka nanti mutunya akan menjadi baik. Perbedaannya antara yang sangat baik dan baik. Bukan yang baik dan yang jelek. Semua harus mau kerja keras.

Seperti saya memberi kepercayaan kepada murid antara si A, si B dan si C. Ini bukunya, coba disuruh belajar sendiri. Ada yang belajar, ada yang bukunya dipegang sajadan ada yang bukunya tidak dipegang. Mana yang akan lebih pandai nantinya ? tentu yang belajar bukan ?! Jadi ini tergantung pada semangatnya, jangan menyalahkan pusat. Daerah itu sendiri yang akan menentukan bagaimana mutunya akan ditingkatkan.

Wawancara Dengan DR. ANWAR ARIFIN

WAWANCARA TOKOH


http://edents.bravepages.com/edents%20online%20baru/wawancawa-anwar%20arifin.htm


Wawancara Dengan DR. ANWAR ARIFIN
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI)

Oleh Dody HP dan Amar Ustadi A.



Seperti yang telah diutarakan di media massa bahwa saat ini DPR sedang membahas RUU tentang Sistem Pendidikan. Apakah Bapak bisa berikan penjelasan sudah sampai bagaimana perkembangannya ?

Perkembangannya sampai sekarang ini (Mei 2002-red) sudah sampai 98% selesai di DPR. Dan besok akan dijadikan 100%. Sesudah itu kita akan rapat bersama dengan pemerintah untuk membahasnya. Dan mungkin paling lambat pada bulan agustus atau September (tahun 2002) nanti bisa sudah selesai (diundangkan-red)



DPR menerima usulan dari masyarakat juga ?

DPR sampai saat ini masih menerima usulan dari masyarakat, sepanjang belum diketok palu terakhir.



Bapak bisa menjelaskan garis besar materi RUU serta perubahan fundamental terhadap UU Sisdiknas yang lama ?

Garis besarnya yang pertama adalah karena otonomi daerah maka perlu ada pula perubahan sistem pendidikan ini dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Yang kedua adanya kesetaraan antara pendidikan agama dengan pendidikan yang non agama. Yang ketiga adalah kesetaraan antara pendidikan negeri dengan pendidikan swasta. Karena yang dulu selalu disebut dalam APBN kan anggarannya hanya untuk sekolah negeri. Lalu sekolah non pemerintahnya bagaimana ? Yang dikelola oleh swasta tentu banyak dari mereka yang nggak mampu. Tapi istilah swasta juga sudah dihapus, diganti dengan pendidikan yang dikelola dan diselenggarakan oleh masyarakat. Yang berikutnya adalah wajib belajar. Kalau wajib belajar maka negara tentu harus menanggung biaya sebanyak-banyaknya. Yang berikutnya adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan minimal 20 persen dari APBN.

Kemudian ada tentang gaji guru. Kita juga memasukkan itu bahwa hendaknya sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan minimal. Jadi gaji guru itu harus diperbaiki. Dan mengenai masalah guru tadi dirasa sangat penting. Pendidikan Indonesia saat ini sedang dalam bahaya. Saya ulangi, pendidikan sedang dalam bahaya. Lulusan terbaik perguruan tinggi itu memilih bekerja jadi dosen/pengajar itu adalah pilihan yang ke-6 dan ini hasil survey. Mereka yang lulusan terbaik itu memilih pertama bekerja di perusahaan luar negeri/asing, baru pada BUMN, lalu perusahaan swasta bonafid, lalu membuka usaha sendiri dan yang keenam itu baru menjadi dosen. Jadi nanti semua yang jadi dosen atau jadi guru adalah orang yang sebenarnya tidak mampu bersaing di tempat lain. Ya.. khan ?! Kalau jadi guru bersedialah untuk hidup tidak sejahtera. Dan ini tidak boleh terjadi. Tahu gaji di Malaysia ? Gaji seorang guru (profesor) di Malaysia itu kalau di kurskan kira-kira 25 juta. Jadi tak heran bila SDM di malaysia itu kualitasnya lebih dari SDM di Indonesia.



Arif Rahman mengatakan bahwa kualitas SDM kita tidak bisa diperbandingkan dengan negara lain karena variabelnya saja sudah beda, kondisi Indonesia yang berpulau-pulau dan heterogenitasnya tinggi. Bagaimana dengan itu pak ?

Memang hal itu tidak bisa diperbandingkan. Tapi kalau kita yang terburuk maka kan seharusnya kita yang terbaik karena lagi pula kita juga dianugerahi banyak pulau yang kaya-kaya..

Dan kalau yang terburuk bagaimanapun juga dalam soal pendidikan UNESCO membuat ranking mutu dan Indonesia terendah mutunya. Dan terendah gaji gurunya. Tidak benar juga kalau bapak Arif Rahman bilang bahwa itu sama sekali tidak bisa diperbandingkan.

Pada waktu rapat pimpinan komisi kemari saya juga bilang bahwa walaupun undang-undangnya diubah berkali-kali yaa… mungkin hasil optimal yang kita harapkan belum bisa dipetik, selama para guru nasibnya buruk seperti sekarang. Jadi kalau mau memperbaiki pendidikan sebenarnya, buatlah itu bergengsi sehingga orang yang paling cerdas mau menjadi guru. Orang yang paling cerdas di Indonesia mau jadi guru karena memang kesejahteraannya terjamin. Jangan semua orang cerdas nanti meninggalkan sekolah tidak mau menjadi guru. Kalau itu terjadi nanti orang yang tinggal di sekolah (jadi guru) adalah orang yang kemampuannya dibawah rata-rata atau bahkan dibawah rata-rata.



Bagaimana tentang kurikulum ?

Undang-undang ini tidak mengatur lebih jauh tentang itu. Yang ada hanya kalimat kurikulum berbasis kompetensi sedangkan manajemennya berbasis sekolah. Mengenai kurikulum ini berkaitan juga dengan relevansi pendidikan. Kemarin saya baca di koran wakil presiden Hamzah Haz mengatakan bahwa mengapa banyak lulusan IPB itu tidak banyak yang bertani. Ada yang kerja di bank lah, ada yang jadi wartawan. Ini khan namanya penghamburan SDM. Sarjana ekonomi yang menjadi wartawan, sarjana pertanian kerja di bank. Dan ternyata penyebabnya itu adalah adanya kurikulum yang salah. Ini khan sebuah malapetaka yang terjadi. Kita memproduksi tapi hasil produksi (output pendidikan) kita ini tidak terpakai. Saya juga bertanya-tanya sebagai guru apa yang salah ini. Mahasiswa saya di Komunikasi jarang yang menjadi wartawan. Apa yang salah ini ? Kenapa sarjana pertanian malah kerja di bank ? dan ini harus menjadi pertanyaan yang serius oleh semua orang yang berkaitan dengan output pendidikan, dan ini namanya relevansi. Jadi setiap orang itu harus disiplin ilmunya harus diterapkan dengan sesuai. Seperti dalam agama Islam bahwa kalau jika sesuatu itu diserahkan pada bukan ahlinya tunggu kehancurannya. Itu hukum yang pasti. Mengapa terjadi banjir ? karena ada yang salah. Ada yang salah karena alam ini kan diciptakan Tuhan dengan serba otomatis, sebuah sistem. Jadi kalau ada sebuah subsistem yang keliru maka seluruh sistem ini akan keliru. Jadi ada suatu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia yang semua orang harus berpikir.

Dalam manajemen yang berbasis sekolah nanti sekolah mempunyai peningkatan peran untuk mengurus sekolahnya sendiri. Jadi kepala sekolah bukan hanya karena senior saja tetapi juga harus mempunyai leadership yang lebih kompeten untuk berbagai masalah.



Bagaimana tentang pendidikan moral dan budi pekerti ?

Di UU yang baru ini juga nanti ada. Kalau di UU ini memang tekanannya pada akhlak yang mulia. Mendidik anak menjadi cerdas berakhlak mulia dan terampil.



Mengenai soal otonomi daerah, banyak pihak mensinyalir bahwa otonomi daerah itu akan memperlebar jurang perbedaan mutu pendidikan antar daerah. Bagaimana pendapat Bapak ?

Sebenarnya otonomi daerah timbul karena memang ada jurang. Sekarang ada jurang. Kita harus mengerti bahwa saudara-saudara yang sekolah di Jawa itu jauh lebih maju daripada yang sekolah diluar Jawa. Anggaran pendidikannya juga luar biasa tingginya di Jawa. Fasilitasnya sudah terlalu tinggi juga di Jawa. Misalnya saja kalimantan timur yang kaya daerahnya, itu kan pendidikan universitasnya kalah dengan universitas-universitas lain yang di Jawa, apalagi dengan UI. Jadi justru otonomi ini hadir supaya kawan-kawan di luar pulau Jawa itu bisa mengejar ketertinggalannya itu. Dengan adanya otonomi ketimpangan akan dapat dihilangkan karena itu tadi, penghasilan di daerah yang kaya dibawa ke pusat.

Sekarang saja dengan otonomi daerah, daerah seperti Irian Jaya, Riau dan daerah-daerah lain mereka sudah menetapkan anggaran pendidikan, kalau tidah salah, sudah 40%. Tapi memang untuk daerah-daerah tertentu seperti NTT, NTB, Sulawesi dan Maluku itu masih suatu masalah. Tapi saya rasa itu akan bisa diatasi dalam jangka panjang.

Jadi otonomi itu muncul karena kecemburuan orang daerah terhadap di pusat atas fasilita-fasilitas yang dimiliki. Sekarang kita lihat saja mana ada orang lulusan Pattimura bisa jadi menteri kan tidak !? dan saya kira (dengan otonomi daerah) nanti kualitas pendidikan di Papua itu bisa lebih bagus daripada di pulau Jawa. Begitu juga di Kalimantan Timur dan daerah-daerah lain juga bisa.

KINERJA PENDAPATAN EKONOMI RAKYAT DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

[Artikel - Th. II - No. 8 - Nopember 2003]
Vincent Gaspersz dan Esthon Foenay

KINERJA PENDAPATAN EKONOMI RAKYAT DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_10.htm

Strategi pembangunan daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) dilakukan berdasarkan pertumbuhan melalui pemerataan dengan prinsip membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat, dengan titik berat pembangunan yang berlandaskan pada pembangunan ekonomi rakyat, pendidikan rakyat, dan kesehatan rakyat. Strategi pembangunan yang menjadi pilihan tersebut memerlukan langkah-langkah operasional yang terukur dan disesuaikan dengan paradigma baru pembangunan (Esthon Foenay, Pos Kupang 11 September 2001 hlm. 4 & 7).

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah Nusa Tenggara Timur adalah meningkatkan standar hidup layak yang diukur dengan indikator pendapatan per kapita riil masyarakat (Peraturan Daerah Provinsi NTT No. 9 Tahun 2001 Tentang Program Pembangunan Daerah Tahun 2001-2004, hlm. 19). Pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita dapat dijadikan sebagai indikator kemajuan pembangunan ekonomi di Nusa Tenggara Timur.

Kinerja pendapatan per kapita penduduk diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993 dibagi dengan jumlah penduduk tengah tahun. Pendapatan per kapita dari Provinsi Nusa Tenggara Timur berdasarkan harga konstan 1993 pada tahun 2001 adalah sebesar Rp 732.100 per tahun atau Rp 61.008 per bulan atau berdasarkan harga yang berlaku pada tahun 2001 adalah sebesar Rp 1.811.696 per tahun atau Rp 150.975 per bulan (NTT dalam Angka Tahun 2001, hlm. 469). Jika menggunakan nilai kurs $US 1 = Rp 9000-an (rata-rata nilai kurs pada tahun 2001), maka pendapatan per kapita NTT pada tahun 2001 atas dasar harga yang berlaku adalah setara dengan $US 200-an.

Berdasarkan studi dari Laporan Pembangunan Manusia Global 2002 (UNDP 2002) terhadap 173 negara di dunia, diketahui bahwa kinerja pendapatan per kapita tertinggi adalah dari negara Luxembourg yaitu sekitar $US 50 ribu ($US 50,061) dan terrendah (pendapatan per kapita terrendah) adalah dari negara Sierra Leone yaitu $US 490. Hal ini berarti secara kasar dapat disimpulkan bahwa pendapatan per kapita penduduk NTT yang sebesar $US 200-an—katakanlah berkisar $US 200 - $US 300, masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita penduduk negara termiskin di dunia (Sierra Leone) yang sebesar $US 490.

Berdasarkan studi dari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001 (BPS, BAPPENAS, dan UNDP 2001) diketahui bahwa kinerja pendapatan per kapita tertinggi (PDRB real per kapita—tanpa minyak dan gas) pada lingkup provinsi di Indonesia adalah dari Provinsi DKI Jakarta yaitu Rp 5.943.000 per tahun atau Rp 495.250 per bulan dan terrendah adalah dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Rp 712.000 per tahun atau Rp 59.333 per bulan, atau hanya sekitar 12 persen daripada pendapatan per kapita penduduk DKI Jakarta. Kinerja pendapatan per kapita di Nusa Tenggara Timur adalah yang paling rendah (paling buruk) di Indonesia. Kinerja pendapatan per kapita lingkup kabupaten/kota tertinggi (PDRB real per kapita—tanpa minyak dan gas) adalah dari Kota Madya Jakarta Pusat (Provinsi DKI Jakarta) yaitu Rp 15.820.000 per tahun atau Rp 1.318.333 per bulan dan terrendah adalah dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (Provinsi Nusa Tenggara Timur) yaitu Rp 497.000 per tahun atau Rp 41.417 per bulan, atau hanya sekitar 3,14 persen daripada pendapatan per kapita penduduk Jakarta Pusat. Terdapat dua kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pendapatan per kapita terrendah di Indonesia (ranking 293 dan 294 dari 294 kabupaten yang dipelajari), yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan (pendapatan per kapita Rp 497.000 per tahun—ranking 294 dari 294 kabupaten di Indonesia) dan Kabupaten Sumba Barat (pendapatan per kapita Rp 501.000 per tahun—ranking 293 dari 294 kabupaten di Indonesia).

Kinerja pendapatan per kapita dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2001 atas dasar harga konstan 1993 adalah terdapat tujuh kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pendapatan per kapita per tahun lebih rendah daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 732.100), diurutkan dari yang terrendah adalah: (1) Sumba Barat (Rp 474.053), (2) Manggarai (Rp 521.105), (3) Timor Tengah Selatan (Rp 550.057), (4) Timor Tengah Utara (Rp 650.591), (5) Alor (Rp 706.009), (6) Sikka (Rp 717.262), dan (7) Ngada (Rp 761.149). Sedangkan enam kabupaten di NTT memiliki kinerja pendapatan per kapita lebih tinggi daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 732.100), diurutkan dari yang tertinggi adalah: (1) Kota Madya Kupang (Rp 1.985.951), (2) Kabupaten Kupang (Rp 852.857), (3) Sumba Timur (Rp 840.636), (4) Ende (Rp 812.039), (5) Flores Timur (Rp 778.680), dan (6) Ngada (Rp 761.149).

Kinerja pengeluaran per kapita penduduk secara rata-rata dapat juga digunakan sebagai variabel proxy (mewakili) dalam mengkaji kinerja tingkat pendapatan ekonomi penduduk dan distribusi pendapatan penduduk. Pengeluaran per kapita pada tahun 2001 dari penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur atas dasar harga yang berlaku adalah sebesar Rp 1.125.240 per tahun atau Rp 93.770 per bulan (NTT dalam Angka Tahun 2001, hlm. 129). Pengeluaran per kapita dari penduduk perkotaan di NTT adalah sebesar Rp 1.728.408 per tahun atau Rp 144.034 per bulan, sedangkan pengeluaran per kapita dari penduduk pedesaan di NTT adalah sebesar Rp 1.015.380 per tahun atau Rp 84.615 per bulan. Hal ini berarti pengeluaran per kapita per tahun dari penduduk perkotaan di NTT lebih tinggi sekitar Rp 713.028 (70,22%) daripada pengeluaran per kapita per tahun dari penduduk pedesaan di NTT. Pada tahun 2001 atas dasar harga yang berlaku terdapat sekitar 90,15% penduduk NTT (3.493.298 orang) yang memiliki tingkat pengeluaran per kapita kurang dari Rp 150.000 per bulan atau kurang dari Rp 5.000 per hari. Kelompok penduduk yang memiliki tingkat pengeluaran per kapita kurang dari Rp 150.000 per bulan atau kurang dari Rp 5.000 per hari ini terbanyak berada di daerah pedesaan NTT yaitu sebanyak 3.104.959 orang (94,72%), sedangkan yang berada di daerah perkotaan NTT adalah sebanyak 388.339 orang (65,04%). Sangat sulit membayangkan betapa parahnya tingkat kemiskinan masyarakat di Nusa Tenggara Timur, terutama di daerah pedesaan NTT di mana mayoritas penduduknya (94,72% dari total penduduk pedesaan) hanya memiliki tingkat pengeluaran per kapita kurang dari Rp 5.000 per hari pada tahun 2001 atas dasar harga yang berlaku pada saat itu. Berdasarkan studi ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pemerataan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur yang ditunjukkan melalui rendahnya tingkat pengeluaran per kapita dari mayoritas penduduk di NTT.

Berdasarkan studi dari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001 (BPS, BAPPENAS, dan UNDP 2001) diketahui bahwa rasio Gini (indeks Gini) dari pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1999 adalah rendah yaitu 0,28, yang menunjukkan telah terjadi pemerataan pengeluaran rumahtangga pada tingkat pengeluaran yang rendah seperti diungkapkan di atas.

Kinerja pengeluaran per kapita dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1999 atas dasar harga konstan 1993 adalah terdapat sebelas kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pengeluaran per kapita lebih rendah daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 576.900), diurutkan dari yang terrendah adalah: (1) Sumba Barat (Rp 437.640), (2) Sikka (Rp 440.010), (3) Timor Tengah Selatan (Rp 472.900), (4) Alor (Rp 485.960), (5) Timor Tengah Utara (Rp 487.560), (6) Belu (Rp 494.650), (7) Ende (Rp 501.270), (8) Flores Timur (Rp 528.820), (9) Kabupaten Kupang (Rp 557.710), (10) Sumba Timur (Rp 566.540), dan (11) Ngada (Rp 566.540). Hanya terdapat dua kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pengeluaran per kapita lebih tinggi daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 576.900), diurutkan dari yang tertinggi adalah: (1) Kota Madya Kupang (Rp 1.202.180) dan (2) Manggarai (Rp 579.380).

Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembangunan ekonomi kerakyatan di masa mendatang seyogianya memprioritaskan pada beberapa kabupaten di NTT yang masih menunjukkan kinerja rendah dalam indikator pendapatan ekonomi masyarakat yaitu: Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Timor Tengah Utara, Manggarai, Belu, Alor, dan Kabupaten Kupang.



Kinerja Produktivitas Tenaga Kerja di NTT

Apabila ukuran keberhasilan produksi hanya memandang dari sisi output, maka produktivitas memandang dari dua sisi sekaligus, yaitu: sisi input dan sisi output. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produktivitas berkaitan dengan efisiensi penggunaan input dalam memproduksi output (barang dan/atau jasa).

Kinerja produktivitas tenaga kerja regional di Nusa Tenggara Timur diukur berdasarkan rasio produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten tahun 2001 atas dasar harga konstan 1993 dengan jumlah tenaga kerja yang ada di kabupaten itu pada tahun 2001.

Kinerja produktivitas tenaga kerja di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2001 atas dasar harga konstan 1993 adalah sebesar Rp 1.717.650. Kinerja produktivitas tenaga kerja dari kabupaten-kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah terdapat 10 kabupaten yang memiliki kinerja produktivitas tenaga kerja regional lebih rendah daripada rata-rata produktivitas tenaga kerja tingkat Provinsi NTT (Rp 1.717.650), diurutkan berdasarkan produktivitas tenaga kerja terrendah, adalah: (1) Sumba Barat (Rp 1.017.750), (2) Manggarai (Rp 1.148.580), (3) Timor Tengah Utara (Rp 1.281.730), (4) Belu (Rp 1.406.250), (5) Ngada (Rp 1.523.980), (6) Timor Tengah Selatan (Rp 1.534.660), (7) Flores Timur (Rp 1.575.030), (8) Sikka (Rp 1.597.360), (9) Alor (Rp 1.652.970), dan (10) Ende (Rp 1.703.280). Hanya terdapat tiga kabupaten yang memiliki kinerja produktivitas tenaga kerja regional lebih tinggi daripada rata-rata produktivitas tenaga kerja tingkat Provinsi NTT (Rp 1.717.650), diurutkan berdasarkan produktivitas tenaga kerja tertinggi, adalah: (1) Kota Madya Kupang (Rp 7.367.030), (2) Kabupaten Kupang (Rp 1.962.140), dan (3) Sumba Timur (Rp 1.942.080).

Dari 34 sektor produksi yang didefinisikan dalam Tabel Input-Output Nusa Tenggara Timur 2001 (BPS NTT, 2002) diketahui bahwa produktivitas tenaga kerja tertinggi berada dalam sektor lembaga keuangan bukan bank yaitu sebesar Rp 35.187.590 (atas dasar harga yang berlaku tahun 2001), sedangkan produktivitas tenaga kerja terrendah berada dalam sektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet yaitu sebesar Rp 469.710 (atas dasar harga yang berlaku tahun 2001). Hal ini berarti bahwa tingkat ketimpangan antara produktivitas tenaga kerja sektoral tertinggi (sektor lembaga keuangan bukan bank—Rp 35.187.590) dan produktivitas tenaga kerja sektoral terrendah (sektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet—Rp 469.710) di Nusa Tenggara Timur adalah sekitar 75 kali atau 7.500 persen, yang berarti tingkat produktivitas tenaga kerja tertinggi dari sektor lembaga keuangan bukan bank adalah 75 kali lipat (7500%) daripada tingkat produktivitas tenaga kerja terrendah dari sektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet.

Dari 13 kabupaten/kota yang dipelajari, diketahui bahwa produktivitas tenaga kerja tertinggi berada dalam Kota Madya Kupang sebesar Rp 7.367.030 (atas dasar harga konstan 1993), sedangkan produktivitas tenaga kerja terrendah berada dalam Kabupaten Sumba Barat yaitu sebesar Rp 1.017.750 (atas dasar harga konstan 1993). Hal ini berarti bahwa tingkat ketimpangan antara produktivitas tenaga kerja regional tertinggi (Kota Madya Kupang—Rp 7.367.030) dan produktivitas tenaga kerja regional terrendah (Kabupaten Sumba Barat—Rp 1.017.750) di Nusa Tenggara Timur adalah sekitar 7,24 kali atau 724 persen, yang berarti tingkat produktivitas tenaga kerja tertinggi dari Kota Madya Kupang adalah 7,24 kali lipat (724%) daripada tingkat produktivitas tenaga kerja terrendah dari Kabupaten Sumba Barat.

Berdasarkan hasil studi ini direkomendasikan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dari kabupaten-kabupaten di NTT melalui melakukan transformasi struktur produksi atau menurunkan tingkat kontribusi dari sektor-sektor primer terhadap PDRB kabupaten itu. Hal yang paling memungkinkan adalah mengembangkan sektor-sektor agribisnis yang mampu mengaitkan secara terpadu dan terintegrasi dari agribisnis hulu, “on-farm”, dan hilir. Dengan demikian telah jelas bahwa strategi perubahan struktur produksi dari sektor-sektor produksi yang memberikan kontribusi terhadap PDRB, melalui mengembangkan sektor agribisnis dari hulu, “on-farm”, sampai hilir, di masa mendatang akan mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja regional.

Peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui perubahan struktur produksi terhadap PDRB, akan memberikan konsekuensi lebih lanjut berupa peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan kemandirian masyarakat membiayai kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Hal ini akan mampu mewujudkan cita-cita jangka panjang berupa mewujudkan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang mandiri, maju, dan sejahtera, sesuai dengan visi dari pembangunan daerah Nusa Tenggara Timur.





Prof. Dr. Vincent Gaspersz adalah Guru Besar Ekonomi Manajerial pada Program Pascasarjana Unika Widya Mandira, Kupang dan Universitas Trisakti, Jakarta yang saat ini bermukim di Vancouver, Canada.

Ir. Esthon Foenay, M.Si adalah Kepala BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Timur yang bermukim di Kupang, NTT.



DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA NTT dan Program Pascasarjana UNIKA WIDYA MANDIRA. 2002. Perencanaan Sumber Daya Manusia Tingkat Makro di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Studi Kerjasama Bappeda NTT dengan Program Pascasarjana Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.

BPS, Bappenas, dan UNDP. 2001. Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001—Menuju Konsensus Baru: Demokrasi dan pembangunan manusia di Indonesia. Publikasi Bersama oleh BPS, Bappenas, dan UNDP, Jakarta 2001.

BPS Jakarta-Indonesia. 2001. Penduduk Nusa Tenggara Timur—Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Badan Pusat Satatistik, Jakarta.

BPS NTT. 2001. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2000. Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, Kupang.

BPS NTT. 2002. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2001. Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, Kupang.

BPS NTT. 2002. Tabel Input-Output Nusa Tenggara Timur 2001—Klasifikasi 35 Sektor. Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, Kupang.

Foenay, Esthon. 2001. Perspektif Perencanaan dan Paradigma Baru Pembangunan. Artikel dalam Pos Kupang 11 September 2001, hlm. 4 dan 7.

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2001. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 8 Tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Tahun 2001-2004. Kupang.

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2001. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 9 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Tahun 2001-2004. Kupang.

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2002. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 6 Tahun 2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2002-2004. Kupang.

Listed on BlogShares