Wednesday, October 26, 2005

Pendidikan & Kenaikan Harga BBM

ARTIKEL Pikiran Rakyat
Rabu, 26 Oktober 2005




Pendidikan & Kenaikan Harga BBM
Oleh Prof. Dr. MAMAN SURYAMAN
TIDAK dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan sarana yang ampuh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar dapat hidup dan menjalani kehidupan secara bermartabat. Kualitas SDM yang tinggi diyakini dapat mengantarkan negara menjadi makmur. Atas dasar itu pula bahwa UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Dengan demikian setiap warga boleh menuntut haknya untuk dapat mengikuti pendidikan setidak-tidaknya hingga setingkat sekolah menengah pertama (SMP), sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program wajib belajar 9 tahun. Namun demikian amanat konstitusi itu tidak serta merta dapat dilaksanakan secara penuh di lapangan. Pada tahapan pelaksanaan banyak faktor yang menghambat terutama masalah biaya. Memang tak terbantahkan untuk menyelenggarakan pendidikan itu diperlukan biaya yang besar. Sedangkan kondisi keuangan negara masih seret, bahkan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % pun belum mampu.

Gambaran kemampuan ekonomi negara yang lemah juga terekspresikan oleh banyaknya keluarga miskin yang mempunyai penghasilan pas-pasan hanya sekadar untuk bertahan hidup. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat warga miskin berjumlah 62 juta orang dengan pendapatan kurang dari Rp 175.000,00/kapita/bulan. Kemiskinan yang melilit sebagian besar keluarga kurang mampu dapat melahirkan kebodohan akibat terbatasnya akses mereka terhadap layanan pendidikan karena hambatan faktor ekonomi, seperti tercermin dengan masih tingginya tingkat drop out (DO).

Berdasarkan data Depdiknas, pada tahun 2003 angka DO mendekati 1 juta anak, terdiri dari SD sebanyak 702.066 dan SMP mencapai 271.948. Pada tahun 2004 angka DO mengalami penurunan cukup signifikan, lebih dari 200.000 anak usia sekolah terselamatkan dari DO. Kondisi ini cukup menggembirakan serta merupakan bukti keberhasilan dari kepedulian dan kerja sama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan. Namun demikian, optimisme dan keberhasilan yang dicapai pada tahun 2004 rasanya akan sulit dipertahankan bahkan hampir mustahil dapat direalisasikan pada tahun 2005, karena menurunnya secara drastis kemampuan ekonomi masyarakat akibat naiknya harga BBM. Sejak awal Oktober 2005, harga berbagai barang dan jasa melesat naik seiring dengan melambungnya harga BBM. Dampaknya sungguh luar biasa.

Angka pengangguran yang sudah mencapai 830.000 orang/tahun, diprediksi bisa menembus angka 1 juta orang /tahun. Demikian juga dengan warga miskin, akan banyak muncul kelompok pendatang baru yang menyandang predikat PMB (penduduk miskin baru). Dampak bertambahnya jumlah keluarga miskin secara langsung dapat mempengaruhi kelangsungan pendidikan anak. Kecilnya penghasilan keluarga miskin, menyebabkan anggaran pendidikan anak tidak lagi menjadi prioritas. Anggaran keluarga akan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan dan biaya kesehatan. Kalau ada sisa, baru dialokasikan untuk pendidikan anak. Boleh jadi bersekolah dapat menambah beban ekonomi keluarga miskin, sehingga tidak sedikit anak usia sekolah yang terpaksa harus DO dan membantu orang tuanya mencari tambahan penghasilan. Diprediksi angka DO untuk SD dan SMP mencapai 1 juta anak pada tahun 2005/2006.

Guna mengatasi lonjakan angka DO, pemerintah telah melakukan beberapa jurus penangkal, seperti bantuan biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan subsidi langsung tunai (BLT) untuk keluarga miskin sebesar Rp 100.000,00/bulan. Dana BOS dirasakan manfaatnya terutama oleh keluarga yang menyekolahkan anaknya di SD dan SMP. Demikian juga masyarakat kurang mampu sedikit terbantu dengan adanya BLT. Namun begitu, manfaat dan bantuan itu jauh sangat kecil bahkan menjadi tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan pengorbanan yang harus dipikul oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Semua komponen biaya sudah membubung tinggi termasuk biaya pendidikan anak.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, biaya pendidikan anak masih relatif murah, orang tua cukup mengeluarkan Rp 26.526,00 per bulan untuk anaknya yang sekolah di SD dan Rp 66.027,00 bagi yang duduk di SMP. Namun memasuki tahun 2005, akibat kenaikan harga BBM sekira 20-40% pada awal Maret menyebabkan biaya pendidikan untuk SD meningkat hampir 4 kali lipat dan untuk SMP bertambah 2 kali lebih besar. Apalagi pascakenaikan harga BBM bulan Oktober yang mencapai lebih dari 100 %, tentu saja menyebabkan biaya pendidikan menjadi tidak terjangkau bagi kebanyakan warga. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengancam target pencapaian wajib belajar 9 tahun yang harus tuntas tahun 2008.

Dana BOS yang diterima sekolah tidak mampu menjadi solusi yang jitu dalam mengatasi masalah pendidikan. BOS hanya dapat menanggulangi sebagian kecil komponen biaya khususnya iuran sekolah. Di luar itu, sebagian besar komponen biaya tetap menjadi beban ekonomi orang tua, yang meliputi : (1) buku dan alat tulis, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) transportasi, (4) biaya les/kursus, (5) konsumsi/uang saku. Dengan komponen biaya seperti itu menyebabkan besarnya biaya satuan pendidikan (BSP) untuk SD lebih Rp 5,9 juta dan SMP Rp 7,5 juta. Demikian halnya dengan dana BLT juga tidak banyak membantu apalagi dapat mengentaskan kemiskinan, karena biaya hidup sudah sampai mencekik leher. Oleh karena itu hampir dapat dipastikan akan lebih banyak lagi anak dari keluarga miskin yang mengalami DO.

Melihat prediksi yang pesimistik itu tentu harus diupayakan agar tidak menjadi kenyataan. Untuk itu perlu diantisipasi agar target wajar 9 tahun dapat tercapai. Terdapat beberapa solusi yang bisa dilakukan, di antaranya : (1) mengintensifkan gerakan orang tua asuh, (2) penyediaan buku pelajaran secara gratis, (3) dana BOS harus diperbesar dan kebocorannya harus dicegah, (4) biaya transportasi anak sekolah harus disubsidi, (5) dana BLT harus ditambah dan diterima secara utuh oleh yang berhak serta diberikan advokasi agar dana itu digunakan untuk hal yang produktif, dan (6) memperbesar anggaran pendidikan melalui APBN(D) hingga mencapai 20 %. Bila dengan solusi tersebut DO masih terjadi, maka siswa putus sekolah harus diarahkan untuk masuk ke sekolah terbuka atau mengikuti program Kejar Paket A dan B dengan fasilitas gratis.***

Penulis, Guru Besar Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Listed on BlogShares