Wednesday, October 26, 2005

Pendidikan & Kenaikan Harga BBM

ARTIKEL Pikiran Rakyat
Rabu, 26 Oktober 2005




Pendidikan & Kenaikan Harga BBM
Oleh Prof. Dr. MAMAN SURYAMAN
TIDAK dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan sarana yang ampuh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar dapat hidup dan menjalani kehidupan secara bermartabat. Kualitas SDM yang tinggi diyakini dapat mengantarkan negara menjadi makmur. Atas dasar itu pula bahwa UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Dengan demikian setiap warga boleh menuntut haknya untuk dapat mengikuti pendidikan setidak-tidaknya hingga setingkat sekolah menengah pertama (SMP), sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program wajib belajar 9 tahun. Namun demikian amanat konstitusi itu tidak serta merta dapat dilaksanakan secara penuh di lapangan. Pada tahapan pelaksanaan banyak faktor yang menghambat terutama masalah biaya. Memang tak terbantahkan untuk menyelenggarakan pendidikan itu diperlukan biaya yang besar. Sedangkan kondisi keuangan negara masih seret, bahkan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % pun belum mampu.

Gambaran kemampuan ekonomi negara yang lemah juga terekspresikan oleh banyaknya keluarga miskin yang mempunyai penghasilan pas-pasan hanya sekadar untuk bertahan hidup. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat warga miskin berjumlah 62 juta orang dengan pendapatan kurang dari Rp 175.000,00/kapita/bulan. Kemiskinan yang melilit sebagian besar keluarga kurang mampu dapat melahirkan kebodohan akibat terbatasnya akses mereka terhadap layanan pendidikan karena hambatan faktor ekonomi, seperti tercermin dengan masih tingginya tingkat drop out (DO).

Berdasarkan data Depdiknas, pada tahun 2003 angka DO mendekati 1 juta anak, terdiri dari SD sebanyak 702.066 dan SMP mencapai 271.948. Pada tahun 2004 angka DO mengalami penurunan cukup signifikan, lebih dari 200.000 anak usia sekolah terselamatkan dari DO. Kondisi ini cukup menggembirakan serta merupakan bukti keberhasilan dari kepedulian dan kerja sama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan. Namun demikian, optimisme dan keberhasilan yang dicapai pada tahun 2004 rasanya akan sulit dipertahankan bahkan hampir mustahil dapat direalisasikan pada tahun 2005, karena menurunnya secara drastis kemampuan ekonomi masyarakat akibat naiknya harga BBM. Sejak awal Oktober 2005, harga berbagai barang dan jasa melesat naik seiring dengan melambungnya harga BBM. Dampaknya sungguh luar biasa.

Angka pengangguran yang sudah mencapai 830.000 orang/tahun, diprediksi bisa menembus angka 1 juta orang /tahun. Demikian juga dengan warga miskin, akan banyak muncul kelompok pendatang baru yang menyandang predikat PMB (penduduk miskin baru). Dampak bertambahnya jumlah keluarga miskin secara langsung dapat mempengaruhi kelangsungan pendidikan anak. Kecilnya penghasilan keluarga miskin, menyebabkan anggaran pendidikan anak tidak lagi menjadi prioritas. Anggaran keluarga akan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan dan biaya kesehatan. Kalau ada sisa, baru dialokasikan untuk pendidikan anak. Boleh jadi bersekolah dapat menambah beban ekonomi keluarga miskin, sehingga tidak sedikit anak usia sekolah yang terpaksa harus DO dan membantu orang tuanya mencari tambahan penghasilan. Diprediksi angka DO untuk SD dan SMP mencapai 1 juta anak pada tahun 2005/2006.

Guna mengatasi lonjakan angka DO, pemerintah telah melakukan beberapa jurus penangkal, seperti bantuan biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan subsidi langsung tunai (BLT) untuk keluarga miskin sebesar Rp 100.000,00/bulan. Dana BOS dirasakan manfaatnya terutama oleh keluarga yang menyekolahkan anaknya di SD dan SMP. Demikian juga masyarakat kurang mampu sedikit terbantu dengan adanya BLT. Namun begitu, manfaat dan bantuan itu jauh sangat kecil bahkan menjadi tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan pengorbanan yang harus dipikul oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Semua komponen biaya sudah membubung tinggi termasuk biaya pendidikan anak.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, biaya pendidikan anak masih relatif murah, orang tua cukup mengeluarkan Rp 26.526,00 per bulan untuk anaknya yang sekolah di SD dan Rp 66.027,00 bagi yang duduk di SMP. Namun memasuki tahun 2005, akibat kenaikan harga BBM sekira 20-40% pada awal Maret menyebabkan biaya pendidikan untuk SD meningkat hampir 4 kali lipat dan untuk SMP bertambah 2 kali lebih besar. Apalagi pascakenaikan harga BBM bulan Oktober yang mencapai lebih dari 100 %, tentu saja menyebabkan biaya pendidikan menjadi tidak terjangkau bagi kebanyakan warga. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengancam target pencapaian wajib belajar 9 tahun yang harus tuntas tahun 2008.

Dana BOS yang diterima sekolah tidak mampu menjadi solusi yang jitu dalam mengatasi masalah pendidikan. BOS hanya dapat menanggulangi sebagian kecil komponen biaya khususnya iuran sekolah. Di luar itu, sebagian besar komponen biaya tetap menjadi beban ekonomi orang tua, yang meliputi : (1) buku dan alat tulis, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) transportasi, (4) biaya les/kursus, (5) konsumsi/uang saku. Dengan komponen biaya seperti itu menyebabkan besarnya biaya satuan pendidikan (BSP) untuk SD lebih Rp 5,9 juta dan SMP Rp 7,5 juta. Demikian halnya dengan dana BLT juga tidak banyak membantu apalagi dapat mengentaskan kemiskinan, karena biaya hidup sudah sampai mencekik leher. Oleh karena itu hampir dapat dipastikan akan lebih banyak lagi anak dari keluarga miskin yang mengalami DO.

Melihat prediksi yang pesimistik itu tentu harus diupayakan agar tidak menjadi kenyataan. Untuk itu perlu diantisipasi agar target wajar 9 tahun dapat tercapai. Terdapat beberapa solusi yang bisa dilakukan, di antaranya : (1) mengintensifkan gerakan orang tua asuh, (2) penyediaan buku pelajaran secara gratis, (3) dana BOS harus diperbesar dan kebocorannya harus dicegah, (4) biaya transportasi anak sekolah harus disubsidi, (5) dana BLT harus ditambah dan diterima secara utuh oleh yang berhak serta diberikan advokasi agar dana itu digunakan untuk hal yang produktif, dan (6) memperbesar anggaran pendidikan melalui APBN(D) hingga mencapai 20 %. Bila dengan solusi tersebut DO masih terjadi, maka siswa putus sekolah harus diarahkan untuk masuk ke sekolah terbuka atau mengikuti program Kejar Paket A dan B dengan fasilitas gratis.***

Penulis, Guru Besar Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Saturday, October 01, 2005

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!

SUARA PEMBARUAN DAILY Jum'at, 17 Juni 2005
Surat Terbuka kepada Mendiknas:

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!
Oleh Trisno S Sutanto


BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke lembaga
Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar
kemungkinan Bapak tidak akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.

Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini "surat terbuka" yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu yang prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab,
menurut saya, apa yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga
dirasakan pada anak-anak seusianya.

Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada "Hari Pendidikan Nasional", misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke sekolah. Alasannya sederhana: "Aku benci sekolah!" Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap pergi
ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.

Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya. Kata "telan mentah-mentah" sengaja saya pilih, karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang (masih terus) mengandalkan pada "hafalan mati" - walau pun sudah begitu banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.

Standar Kurikulum Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan "otonomi khusus" masing-masing sekolah. Akan tetapi, pada
> praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai "ketinggalan" dari sekolah-sekolah "favorit". Apalagi, dalam sistem KBK, faktor pendidikan guru sebagai "fasilitator" (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka, seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya, merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya beri contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta). Itu berarti, setiap siswa harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 buku - saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi ujian kenaikan kelas.


Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata pelajarannya sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa SLTP kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat
memeriksa buku-ajar standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin

Bapak Menteri tidak memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu. Jadi, izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar anak saya.

Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan, masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap
pembangunan jangka panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan), sistem pernafasan (manusia dan hewan), sistem transportasi (manusia dan hewan), sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.

Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, "Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?"

Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum "perkelahian pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau mati", pasal-pasal mana untuk "perkelahian pelajar secara berkelompok", dan pasal-pasal mana yang dipakai jika "pelajar menyerang guru"!

Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan oleh pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar membawa senjata api atau senjata tajam"...

Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur,
anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya. Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak sesuai tahap-tahap perrkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum.Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut
pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan kata "sekolah" dan "belajar" momok yang sangat menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.

Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius!

* Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta

OPINI: Praksis Pendidikan Minus Visi, Catatan atas ”Bongkar Pasang” Kurikulum

Opini — Hans 17/8/2005
OPINI: Praksis Pendidikan Minus Visi, Catatan atas ”Bongkar Pasang” Kurikulum

Oleh: ST SULARTO

Perjalanan praksis (praktik dan refleksi) pendidikan selama 60 tahun Indonesia merdeka— dalam catatan ini terbatas pada pendidikan dasar dan menengah— sebenarnya jalan di tempat.

Dari kurikulum yang pertama (Kurikulum 1968) hingga yang kelima (Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), ada degenerasi dalam hal tujuan utama kegiatan pendidikan. Itu antara lain terlihat dari semakin etatifnya praksis pendidikan. Praksis pendidikan semakin tidak berorientasi pada anak (psikologi perkembangan Jan Piaget), tetapi lebih pada impuls kepentingan politik praktis.

Setiap pergantian kekuasaan dinanti dengan cemas karena setiap menteri punya kegemaran mengubah kurikulum. Padahal, setiap perubahan berdampak pada praksis pendidikan. Sampul majalah Basis Juli-Agustus 2000 menggarisbawahi catatan Sindhunata di dalamnya: Pendidikan hanya menghasilkan air mata. Ilustrasinya, air mata meleleh dari kelopak mata seorang bapak yang tertusuk pensil.

Banyak pakar dan pemerhati risau. Malah ada yang menarik tali lebih panjang ke zaman setelah Jepang masuk tahun 1942 (Slamet Iman Santoso: 1976). Praksis pendidikan di Indonesia sudah rusak sejak Jepang masuk, bersambung di zaman ”rekiblik”. Berkembang mitologi tentang peran pendidikan (Winarno Surakhmad: 1990, Mochtar Buchori: 1997), yang eloknya pendidikan senantiasa dilihat sebagai solusi keterpurukan bangsa.

Riuhnya perdebatan berakhir dengan masalah dana. Kecilnya anggaran pendidikan dituding sebagai biang keladi walaupun sepanjang sejarah Indonesia merdeka belum pernah ada alokasi anggaran lebih dari 8 persen.

Kecilnya anggaran mencerminkan belum adanya good will pemerintah. Praksis pendidikan sebagai bagian dari pembangunan bangsa sekadar slogan. Pada tahun 1980-an, ketika Indonesia tumbuh pesat berkat minyak, kemauan baik itu baru ditumbuhkan pada angka nominal, tetapi belum dalam alokasi anggaran.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono—dalam pemerintahan Megawati Soekarnoputri dicanangkan sebagai tekad—melangkah setapak. Pemerintah berjanji, bahkan membuat agenda setting, akan memenuhi alokasi ideal 20 persen pada tahun 2009. Pernyataan itu sudahlah kemajuan besar.

Masalah anggaran sebenarnya bukanlah satu-satunya masalah paling penting. Praksis pendidikan (pengajaran), sebenarnya bersumber dari adanya orientasi yang jelas, tercermin dari adanya kurikulum yang tidak gampang berubah.

Terkait politik

Kurikulum tidak bisa lepas dari politik (HAR Tilaar: 1995). Adagium pendidikan sebagai bagian dari nation and character building disadari sejak awal Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelumnya, seperti dirintis Perguruan Tamansiswa (1922).

Empat bulan setelah merdeka, praksis pendidikan mulai dibenahi. Pada tahun 1947 terbentuk sistem persekolahan sesuai dengan UUD 1945, termasuk sekolah rakyat enam tahun. Sistem itu tidak sempat dipraktikkan dan dikembangkan. Baru pada tahun 1960 tersusun undang-undang (UU) yang menjadi payung hukum kegiatan pendidikan.

Sesuai dengan keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No II/MPRS/1960 tentang manusia sosialis Indonesia, disusunlah Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 14 Tahun 1965. Keluar Keppres No 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.

Menyusul hancurnya Orde Lama, keluar Ketetapan MPRS No XXVII/MPRS/1966 yang berisi tujuan pendidikan: membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan seperti Pembukaan UUD 1945. Lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan yang terstruktur pertama kali (Cony Semiawan: 1980).

Tujuan praksis pendidikan menurut Kurikulum 1968 ialah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.

Dikembangkan berbagai uji coba, mulai dari apresiasi atas kegiatan yayasan-yayasan swasta, munculnya tokoh-tokoh perintis semacam Ibu Pakasi dari Malang dengan sistem modul, atau sekolah-sekolah pembangunan yang berorientasi pada kerja (John Dewey), hingga uji coba cara belajar siswa aktif (CBSA) di Cianjur.

Sampai pada akhirnya, setelah melihat suasana liberatif, pemerintah mengambil alih kendali seluruh praksis pendidikan. Pendidikan yang dulunya liberatif dan desentralistis ditarik kembali ke semangat deliberatif dan sentralistis. Swasta tidak lagi dianggap sebagai partner, tetapi pesaing (J Drost SJ: 1984).

Ketika belum semua sekolah menggunakan Kurikulum 1975, mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Hadirlah Kurikulum 1984, kelanjutan dari diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional. UU yang dihasilkan secara terencana lewat sebuah panitia penilai—tercatat panitia serupa pernah ada tahun 1968—dengan hasil laporan CE Beeby. UU yang mengganti UU tahun 1960 itu pun diterpa kritik.

Kurikulum 1984 dianggap sarat beban, lantas muncul Kurikulum 1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik lebih tampil ketimbang berpijak pada kebutuhan anak didik.

UU Sistem Pendidikan No 2 Tahun 1989 pun akan diganti, dan setelah lewat proses panjang baru terealisasi tahun 2003. Bersamaan pula hadir Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), di antaranya memuat sejumlah kompetensi yang perlu dimiliki setiap lulusan.

Dalam praktik, jangankan dengan KBK, bahkan di banyak daerah masih ada sekolah yang belum sempat mempraktikkan Kurikulum 1994, memasuki tahun ajaran 2005/2006 ini kurikulum terakhir tetaplah sebagai hidden curriculum, kurikulum yang belum dipraktikkan sebagai pedoman kegiatan belajar di semua sekolah.

Terus berubah

Panorama di atas menunjukkan, praksis pendidikan negeri ini tidak pernah lekang dari ”uji coba”. Kebijakan dan kebijaksanaan gampang berubah. Kurikulum yang seharusnya tidak gampang berubah—tanpa menisbikan faktor fleksibilitas sebagai keharusan—perlu diakui praksis pendidikan selama ini minus visi.

Akibat berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan seolah-olah sebagai kebijakan instan dan kurang didasari atas pertimbangan pedagogis-edukatif.

Keterlibatan emosional orangtua terhadap pendidikan dihargai sebagai unsur positif. Akan tetapi, ketika keterlibatan itu lantas menjadi pedoman dan dasar keputusan politis, semakin kuat pendapat praksis pendidikan ini berjalan minus (miskin) visi.

Munculnya prestasi-prestasi gemilang anak muda di tingkat internasional, menjamurnya calon-calon peneliti muda pada era 1980-an, perlu dicatat sebagai ”mutiara-mutiara” yang tampil di tengah lumpur praksis pendidikan minus visi. Orangtua, anak didik, dan guru merasa serba gamang oleh terombang-ambingnya utak-atik uji coba.

Ke depan, yang perlu dilakukan bukanlah utak-atik kurikulum minus visi, melainkan pemikiran serius seperti pernah terjadi pada tahun 1978. Arahnya adalah pendidikan berfokus pada anak didik sebagai pusat, tanpa mengesampingkan perkembangan global yang terjadi, dengan tetap tidak meninggalkan keterampilan sebagai membangun kemampuan sekaligus berakhlak.

Catatan ”pelapukan” ini terfokus pada pendidikan dasar dan menengah karena tingkat inilah bangunan fondasi jenjang berikutnya. Tanpa itu, pada 15 tahun ke depan, ketika Indonesia merayakan usia 75 tahun, jangan-jangan bangsa dan negara ini semakin tertinggal jauh dari Vietnam, Afrika, apalagi Singapura dan Malaysia.

SOS untuk bangsa dan negara Indonesia! Ia secara kultural sebenarnya sudah menggali liang kuburnya sendiri. (Artikel ini diambil dari Kompas)

Membangun martabat manusia : peranan ilmu-ilmu sosial dalam pembangunan

Social History and Conditions, Problems and Reform - 9794202428 - Membangun martabat manusia : peranan ilmu-ilmu sosial dalam pembangunan / penyunting, Sofian Effendi, Sjafri Sairin, M. Alwi Dahlan. - What's Been Published: "ISBN : 9794202428
Dewey :
LCCN : HN703.5 .M46 1992

Volume Details:
xxxii, 700 p. : ill., maps ; 21 cm.

Title:
Membangun martabat manusia : peranan ilmu-ilmu sosial dalam pembangunan / penyunting, Sofian Effendi, Sjafri Sairin, M. Alwi Dahlan.

Cet. 1.

'...Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial 1990 dan Konggres HIPIIS VI yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 16-21 Juli 1990 ...'--p. vi."

Ilmu Sosial di Indonesia

Ilmu Sosial di Indonesia

Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi

Oleh Herwindo

Pertama-tama saya akan memulai tulisan ini dengan pendapat yang akan saya kutip dari tulisan Ignas Kleden ini. Pendapat Karl Popper yang dikatakannya sangat terkenal, tendensi para ilmuwan untuk memberi pembuktian bersifat psikologis, sedangkan tugas untuk memalsukan diri sendiri bersifat filosofis (Popper, 1979:30). Dari sini dapat kita bentangkan permasalahannya ilmu sosial yang berkembang kekinian.

Dalam hal ini dapatlah kiranya menjelaskan keadaan ilmuwan sosial di Indonesia khususnya, Asia Tenggara pada umumnya. Karena pada dasarnya fenomena yang menjadi fakta sosial di lingkungan lokal dan regional ini sama keadaannya, refleksi jarang dilakukan bahkan dalam tindakannyapun “kering” dari pemaparan realitas sosial yang ada. Padahal refleksi diri merupakan perangkat metodologis yang terpenting bagi ilmu-ilmu sosial kritis, menurut Habermas (Habermas, 1969, 155-68).

Penelitiannya sangat “kering” dari fungsi sosialnya seorang ilmuwan sosial dan hal tersebut menjadikan ilmu sosialnya sendiri “kehilangan” makna atas apa-apa yang diteliti dan dideskripsikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi khalayak akademis dan masyarakat umum.

Namun fenomena tersebut, bukan merupakan keadaan yang dipilih oleh setiap ilmuwan sosial dimanapun melainkan ada unsur represifitas yang bersifat laten dan halus (disublimasikan) oleh kekuatan penguasa pada zaman orde baru. Berangkat dari semua itu ilmu sosial menjadi ilmu yang kajiannya tidak holistik, terdikotomis (fragmentasi), monoton dalam pengembangan, minim akan etika dan tidak bebas nilai. Fakta akan hal tersebut dapat dilihat pada media cetak harian The Jakarta Post yang terbit 26 Oktober 1992, yang menulis mengenai kongres nasional partai politik penguasa orde baru (Golkar) dalam penguasaan ruang sosio-politik untuk mendapatkan stabilitas politik dan dengan berbagai cara mempertahankan “ideologi”pembangunan nasional.

Realitas tersebut terjadi karena ada penekanan terhadap realitas yang akan dibentuk oleh penguasa orde baru guna memperlancar pembangunan nasioanal yang diprogram oleh penguasa waktu itu. Seluruh pembangunan yang dijalankan tidak mengindahkan ekses sosial dan kalaupun ada ilmuwan sosial yang melakukan tugasnya, penelitian dan observasi atas realitas sosial hanya berlaku bagi kepentingan penguasa. Metodologi yang digunakanpun sangat konvensional dalam melakukan penelitian, dimana nantinya berguna untuk membangun konstruksi wacana pembangunan yang juga berekses pembentukan rekayasa sosial Tentu saja teori yang digunakan oleh ilmuwan sosial kebanyakan, adalah teori struktural fungsionalis yang cenderung mengikuti logika politik perspektif penguasa.

Ilmu sosial yang mengembang hanya menjadi alat peredam konflik yang berkerak dan penyakit yang akut bagi negara dan bangsa Indonesia. Kaum ekonom dan sosiolog selalu beriringan pendapatnya, lebih-lebih realitas yang terlihat menyamarkan opini seorang politisi dengan dua kaum akademisi di atas tetapi, bila dicermati titik tolak disiplin ilmu masing-masing yang berbeda ini tersistematis retorikanya dan searah dengan kebutuhan yang dipesan oleh para penguasa orde baru.

Bagi para ekonom, pertumbuhan ekonomi yang akan memacu kearah pembangunan nasioanal merupakan tujuan utamanya, oleh karena itu hal tersebut menjadi landasan atas peningkatan taraf hidup bangsa. Sebenarnya bila dicermati melalui kontekstual sejarah ditekankannya pertumbuhan ekonomi lekat sekali kaitannya dengan satu alasan politis : masalah legitimasi untuk orde baru, baik itu secara internal maupun secara eksternal atas realitas politik sebelumnya (era kepemimpinan Soekarno).

Era kepemimpinan Soekarno yang menekankan pada national character building mendapatkan delegitimasi melalui kudeta konstitusional yang dilakukan oleh penguasa orde baru, setelah tumbangnya Soekarno diisilah dengan Soeharto yang mengedepankan national building. Melalui teori tetesan kebawah (trickle down theory) kepada khalayak bangsa Indonesia dihipnotis, penumpukan kekayaan merupakan awalan dari pertumbuhan ekonomi, lalu barulah kekayaan tersebut terdistribusikan secara lebih merata.

Padahal teori tetesan kebawah hanya sebagian saja dapat menjawab permasalahan tertundanya pemenuhan kebutuhan materiil, bagi mayoritas masyarakat yang tidak mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Hal tersebut menjadi kekayaan wacana yang menghasilkan buih (busa detergen) saja, embrio yang tercipta adalah konflik horisontal karena yang kaya terus menjadi kaya dan yang miskin tetap menjadi miskin. Namun konflik tersebut, ditekan guna menjaga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi untuk pembangunan nasional.

Realitas seperti itu memang membuat pergeseran dalam bentuk interaksi sosial dan formasi sosial yang erat keterkaitannya dengan kehidupan politik dan sosio-cultural yang ada. Tetapi dalam realitas ini, telah menghasilkan suatu realitas yang nyata-nyata menjadi bisa bagi bangsa Indonesia hingga sekarang ini. Realitas yang nyata itu adalah, tumbuhnya perbedaan besar antara kemiskinan absolut, bersumber pada kurangnya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan realitas yang nyata lainnya adalah, kemiskinan relatif, merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi, kemiskinan adalah harga yang harus dibayar pada satu pihak demi kemakmuran pada pihak lain. Krisis multidimensional.

Sedangkan para ilmuwan sosial, tidak langsung menaruh perhatiannya pada realitas sosial atau dapat dikatakan pada masalah pembelaan hak-hak rakyat. Namun ilmuwan sosial, yang selalu terbentur oleh realitas yang terjadi karena pembangunan nasional menjadikan para ilmuwan tersebut lebih tertarik pada perubahan-perubahan dalam kelembagaan sosial dan wawasan nilai, yang diperlukan oleh adanya perubahan tatanan keadaan semata.

Ilmuwan sosial dalam hal ini hanya dapat menguraikan bentuk kerjanya ke restrukturisasi yang merupakan reformasi sistem sosial, menunjukan pada perubahan termaksud ditingkat masyarakat yang terdiri atas formasi bentuk-bentuk interaksi sosial baru. Disinilah bentangan aktualisasi permasalahan di atas terlihat jelas adanya dikotomis atau fragmentasi, tidak holistik, minim etika, statis atau monoton dan tidak bebas nilai, ilmuwan bersikap seperti “nabi-nabi baru” yang hanya menyiarkan wahyu semata dan tidak secara emansipatoris fungsi sosialnya. Walaupun begitu, ilmuwan sosial tetap berperan penting dalam rekayasa sosial yang dapat menyusun kembali lembaga-lembaga sosial atau dalam menawarkan reorientasi terhadap masalah-masalah budaya.



Pun keadaan ilmu sosial tidak jauh perkembangannya, setelah polemik yang sangat panjang dalam suatu prosa ilmu sosial. Ilmu sosial dapat diterangkan atau ditafsirkan sebagai disiplin ilmu yang tidak netral, teori maupun konsepsi yang ada pada posisi tertekan di era orde baru tidak sekedar memiliki kapasitas menjelaskan atau menafsirkan tetapi, juga memiliki potensi melegitimasi dan mendelegetimasi. Dengan begitu, restrukturisasi lembaga-lembaga sosial dan reorientasi nilai-nilai budaya dapat dipermudah atau dihambat oleh teori-teori ilmu sosial yang sesuai dengan kebutuhan ataupun kepentingan para ilmuwan sosial.

Para aktivis pergerakan dalam bentuk realitas sosial sepeti ini lebih memainkan peranan walaupun, kadang tidak terukir dalam perubahan sejarah sosial. Dan reaktualisasi dari keadaan ilmu sosial di Indonesia khususnya, sudah kita dapatkan ilustrasinya yaitu, ilmuwan sosial pada era orde baru hanya berfungsi sebatas fungsi instrumentalis saja dan berkesan “mendukung” rezim orde baru. Menjadikan ilmu sosial tidak berkembang.

Menjadi suatu keharusan, bahwa seharusnya komunitas ilmiah dari ilmuwan sosial bukan hanya menciptakan kreatifitasnya dalam ilmunya saja yang berfungsi sosial (pemikirannya). Tetapi lebih dari itu, tempat berkumpul untuk mempertemukan manusia-manusia yang menyusun ide-ide, tempat aksi dan refleksi serta bertemu secara periodik.



Sumber bacaan :

1. Kleden, Ignas. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi

Perspektif Asia Tenggara, 2000, Jakarta

2. Hasan, Abu. Pendidikan di Indonesia, Komunitas Filsafat Kebudayaan, 2000,

Jakarta

3. Hasan, Abu. Pembangunan Nasional dan Demokratisasi di Indonesia, Komunitas

Filsafat Kebudayaan, 2000, Jakarta

4. al-Makassary, Ridwan. Kematian Manusia Modern, UII Press, 2000, Yogyakarta

Ini Masalah Orang atau Sistem?

Sabtu, 15 Maret 2003

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/15/pustaka/182539.htm

Ini Masalah Orang atau Sistem?

PERTANYAAN yang menjadi judul tulisan ini kerap kali terdengar mulai dari obrolan santai para tukang ojek hingga makalah ilmiah yang rumit. Misalnya saja, ketika mempersoalkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Aneka jawaban biasanya berkisar antara "Sistemnya sudah baik tapi mentalitas pejabatnya masih kacau" atau "Rakyat tidak berdaya karena sistemnya telanjur korup."

Di balik pertanyaan tersebut sebenarnya tersembunyi sebuah teka-teki terpenting yang senantiasa menghantui ilmu-ilmu sosial. Mana lebih penting, pelaku atau struktur? Teka-teki ini muncul dari kenyataan paling elementer bahwa orang mengerjakan ini dan bukan itu. Misalnya, seorang buruh tetap mau bekerja meskipun upahnya kecil, atau orang Yogyakarta suka naik motor dan bukan bus.

Untuk menjelaskan peristiwa tersebut, fungsionalisme yang digagas Talcott Parsons menekankan fungsi sosial yang menuntun pelaku. Marxisme menunjuk pada struktur proses produksi yang mengekang kapasitas bebas individu. Fungsionalisme dan marxisme adalah penjelasan yang bisa dikelompokkan dalam kubu besar strukturalisme-fungsionalisme yang memenangkan struktur di atas pelaku.

Begitulah, teka-teki besar itu dijawab dengan dualisme pelaku/struktur. Masalahnya, dualisme tersebut selalu gagal memberi penjelasan secara memadai karena selalu jatuh pada salah satu ekstrem. Menerobos kebekuan dualisme inilah yang menjadi agendum pokok yang dikerjakan oleh Anthony Giddens, seperti diterangkan dalam buku ini.

B Herry-Priyono, penulisnya, membagi bukunya dalam tiga bagian. Pertama adalah contoh refleksi kritis Giddens terhadap fungsionalisme dan strukturalisme/post-strukturalisme. Kedua adalah terobosan teoretis Giddens yang berpusat pada teori strukturasi. Bagian ketiga menyajikan contoh ringkas penerapan teori tersebut.

GIDDENS menamai teorinya strukturasi (theory of structuration). Menepis dualisme (pertentangan), Giddens mengajukan gagasan dualitas (timbal-balik) antara pelaku dan struktur (hlm18). Bersama sentralitas waktu dan ruang, dualitas pelaku dan struktur menjadi dua tema sentral yang menjadi poros teori strukturasi. Dualitas berarti, tindakan dan struktur saling mengandaikan.

Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku seperti dipahami oleh Durkheim dan diteruskan oleh strukturalisme. Struktur adalah aturan dan sumber daya (rules and resources) yang mewujud pada saat diaktifkan oleh pelaku dalam suatu praktik sosial. Dalam arti ini, struktur tidak hanya mengekang (constraining) atau membatasi pelaku, melainkan juga memungkinkan (enabling) terjadinya praktik sosial.

Sementara itu, sentralitas waktu dan ruang diajukan untuk memecah kebuntuan dualisme statik/dinamik, sinkroni/diakroni, atau stabilitas/perubahan. Dualisme seperti ini terjadi karena waktu dan ruang biasanya diperlakukan sebagai panggung atau konteks bagi tindakan.

Mengambil inspirasi filsafat waktu Heidegger, Giddens merumuskan waktu dan ruang sebagai unsur yang konstitutif bagi tindakan. Tidak ada tindakan tanpa waktu dan ruang. Karena itu, tidak ada peristiwa yang melulu statik atau melulu dinamik.

Sedemikian sentral waktu dan ruang bagi Giddens hingga ia mengatakan bahwa keduanya harus menjadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial. (hlm 20). Atas dasar dua tema sentral tadi, Giddens membangun teori strukturasi dan menafsirkan kembali fenomen-fenomen modern, seperti negara-bangsa, globalisasi, ideologi, dan identitas.

Teori strukturasi jelas merupakan tantangan terhadap teori-teori yang sudah mapan secara akademis. Hal ini semakin benar menyangkut dunia akademik di Indonesia. Selama ini fungsionalisme telanjur menjadi dewa, baik di antara para pengajar, peneliti, maupun orang kebanyakan.

Baru pada pertengahan dasawarsa 1990-an, strukturalisme dan post-strukturalisme mulai populer dengan terbitnya buku-buku terjemahan karya Derrida dan Foucault. Begitupun, fungsionalisme masih sukar ditandingi terutama di lembaga perkuliahan resmi. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial Indonesia macet dan gagal menerangkan fenomena baru.

GIDDENS terkenal sebagai penulis yang gemar berpanjang kata sehingga karya-karya teoretisnya pun begitu tebal. Kalimat-kalimatnya amat teknis dan memakai kombinasi kata-kata baru yang bahkan dalam bahasa Inggris belum dikenal.

Menurut saya, penulis buku ini berhasil menyajikan pemikiran Giddens dengan jelas dan cukup sederhana, apalagi diperkaya oleh banyak contoh yang jarang ada pada karya Giddens. Buku ini amat menarik dan akan membantu para peminat teori ilmu-ilmu sosial.

Sekalipun demikian, ada beberapa hal yang harus masuk dalam buku kecil ini. Pertama, buku ini baru menerangkan strukturasi yang terjadi pada tingkat pelaku individual. Masih ada dualisme individu/masyarakat yang juga sentral dalam teori ilmu-ilmu sosial. Pertanyaannya adalah bagaimana individu-individu pada tingkat tertentu bertindak secara terorganisasi tanpa saling sikut.

Dalam terminologi teori strukturasi, persoalan ini berada di bawah judul integrasi sosial (social integration). Terinspirasi oleh teori perjumpaan Erving Goffman, Giddens mendefinisikan masyarakat sebagai perjumpaan antar-individu yang terus-menerus.

Perjumpaan diatur oleh mekanisme-mekanisme dualitas pelaku dan struktur. Kemudian, memakai teori waktu-geografi Hägerstrand, Giddens menerangkan bahwa perjumpaan terjadi karena konvergensi waktu-ruang, dan mobilisasi waktu-ruang merupakan poros eksistensi masyarakat.

Kedua, pada catatan untuk bab V (hlm 91-92), penulis buku ini mengajukan tiga catatan kritis terhadap teori strukturasi. Ketiga kritik ini hanya menyentuh satu dari dua tema sentral teori strukturasi yaitu dualitas pelaku dan struktur. Kalau mau adil, kritik terhadap dualitas ini bisa dilanjutkan untuk mempersoalkan perlakuan Giddens terhadap waktu.

Benar bahwa sifat dualisme tidak selalu bisa dihapus dari hubungan antara pelaku dan struktur. Dualitas pelaku dan struktur menunjukkan bahwa seluruhnya adalah proses dan tidak ada hasil. Akibatnya, dualitas tadi tidak bisa menjawab pertanyaan kapan: kapan struktur yang mengekang lebih dominan atau kapan pelaku yang transformatif lebih menonjol dalam satu momentum tertentu?

Ketiga, ada baiknya, di bagian akhir buku ini disusun semacam kamus kecil atau glossary yang memuat istilahistilah baru yang kerap dipakai Giddens. Cara ini dipakai sendiri oleh Giddens dalam buku babonnya, The Constitution of Society (1984). Niscaya pembaca akan makin terbantu untuk memulai proses belajarnya bersama Giddens.

B Hari Juliawan, Mahasiswa Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

"In Memoriam" Prof Dr Selo Soemardjan

"In Memoriam" Prof Dr Selo Soemardjan

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/12/utama/364906.htm
Kamis, 12 Juni 2003

Oleh Paulus wirutomo

Ia lahir di Yogyakarta tanggal 23 Mei, tepat 88 tahun yang lalu, suatu angka yang amat indah, seindah pribadinya. Selo Soemardjan amat mencintai Kota Yogyakarta. Bukan hanya karena dia dilahirkan di sana, tetapi sebagai "wong Jowo" yang amat loyal pada kejawaannya, dia telah berhasil merebut hati sang raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX sehingga kini dia menjadi warga Keraton Yogyakarta. Suatu kebanggaan dan kebahagiaan yang tak pernah dapat disembunyikannya!

Nama Selo Soemardjan selalu melekat dengan sosiologi. Ilmu itu sebenarnya baru benar-benar ditekuni pada saat usianya sudah di atas empat puluh tahun, yaitu ketika ia pada tahun 1956 memperoleh kesempatan menuntut ilmu di Cornell University, Amerika Serikat. Di sinilah bekas camat lulusan Mosvia (tingkat SLTA) ini menunjukkan kehebatannya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun beliau boleh pulang ke Tanah Air dengan menyandang gelar PhD di bidang sosiologi. Disertasinya "Social Changes in Jogyakarta" pun dibukukan dan banyak menjadi acuan sarjana luar negeri yang menulis tentang perubahan sosial di Indonesia pascakemerdekaan.

Sejak itu kegiatan Selo Soemardjan hampir tak ada habisnya untuk mengembangkan sosiologi dan bahkan ilmu sosial lainnya di Tanah Air. Dia memperoleh gelar profesor dari fakultas ekonomi, hanya satu tahun setelah kembali ke Tanah Air. Dia adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia beliau menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Di luar UI, tokoh yang "tidak bisa diam" ini mendirikan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial bersama koleganya yang berasal dari berbagai bidang ilmu sosial. Yayasan itu amat banyak memberikan sumbangan penting dalam sejarah perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Selo adalah ketua yayasan tersebut sampai tahun 2001.

Tahun 1972 bersama rekan-rekannya mendirikan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial dan tahun 1980 ikut membidani lahirnya Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI).

Tidak mengherankan bila para sosiolog di Indonesia (yang hampir semua adalah bekas muridnya) mengangkat beliau sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Sedemikian lekatnya sosiologi dengan Selo Soemardjan sampai seorang mantan asistennya, Drs Wahyu Sardono (almarhum), memelesetkannya menjadi "Selologi".

Selo Soemardjan bukan seorang sosiolog yang sophisticated. Pemikiran-pemikirannya sederhana saja, bahkan kalau ikut kuliahnya tidak kalah asyiknya dengan mendengarkan Srimulat karena banyak sekali lelucon beliau yang memang benar-benar lucu! Beliau pernah cerita: waktu jadi carik di suatu kecamatan di daerah Yogyakarta, aturan sopan santun amat ketat. Seorang carik harus bersila di lantai dan tidak boleh memandang wajah tamu-tamu yang datang. "Akhirnya saya jadi hafal semua bentuk kaki para tamu dan pegawai di kecamatan!" ujarnya.

Sense of humor Selo kadang-kadang agak "keterlaluan". Misalnya, penerbit salah satu bukunya menawarkan suatu judul Komitmen Selo Soemardjan. Menanggapi itu, beliau dengan enteng mengatakan, "Ah... ngapain pake komat-kamit segala!" Akhirnya (mungkin setengah jengkel), penerbit memberi judul buku itu: Komat-Kamit Selo Soemardjan dan ternyata sang profesor senang dengan judul aneh itu!

Sebagai sosiolog, Selo Soemardjan bukan terkenal karena teorinya yang rumit, tetapi justru karena "action"-nya. Ia benar-benar the man of action! Pada tahun l995 beliau terkena stroke dan dokter melarangnya untuk berpikir yang berat dan serius, kalau ingin umur panjang.

Mula-mula ia patuh dan sehari-hari hanya main dengan cucunya. Belum satu bulan beliau tak tahan. "Saya tidak bisa hidup seperti ini!" Dan, beliau pun nekat mulai berdiskusi, memberi kuliah, menulis, dan sebagainya. Ternyata kesehatannya malah pulih dan pada saat Kampus UI menggelar gerakan reformasi, sang profesor berada di tengah-tengah mahasiswa!

Ketika pecah konflik di berbagai daerah beberapa tahun lalu, Selo tak bisa tinggal diam. Ia bukan hanya menganalisis dan memberi saran dari belakang meja, tetapi datang ke berbagai daerah konflik, sampai-sampai pernah akan dihakimi oleh massa yang sedang kalap! Sungguh tindakan yang berani dari seseorang yang memang pernah terjun langsung menjadi gerilya di zaman revolusi.

Di samping Social Changes in Jogyakarta, Selo juga menghasilkan tak terhitung tulisan ilmiah di bidang sosiologi, beberapa buku beliau yang lain. Salah satunya, Setangkai Bunga Sosiologi yang ditulis bersama sahabatnya, Soelaiman Soemardi. Buku-buku terakhirnya, misalnya, Kisah Perjuangan Reformasi (1999) yang ditulisnya bersama-sama dengan para sosiolog muda dan Menuju Tata Indonesia Baru (2000).

Prof Selo dikenal dengan pemikirannya tentang "kemiskinan struktural". Beliau mengingatkan bahwa kemiskinan di Indonesia bukan hanya karena orang Indonesia memang tidak memiliki etos kerja yang tinggi sehingga menjadi miskin, tetapi kemiskinan itu lebih merupakan impitan struktur yang berupa aturan, kebijakan, dan praktik-praktik birokrasi yang membuat orang miskin selalu jatuh lagi ke dalam kemiskinan.

Sebagai sosiolog yang menekuni studi di pedesaan, beliau mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah pusat pada zaman Orde Baru (Orba) yang ingin menyeragamkan bentuk pemerintahan desa di seluruh Indonesia telah menyebabkan desa-desa adat kehilangan mekanisme adat dan kepemimpinannya, yang sebetulnya memiliki "wibawa" yang tinggi pada masyarakat lokal. Karena itu, ketika terjadi konflik antarwarga pada masa pasca-Orba, pemerintah kelurahan yang dibentuk pemerintah pusat kurang efektif mengendalikan konflik horizontal antarwarga tersebut. Pada masa reformasi ini Prof Selo aktif untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat di daerah-daerah.

Keprihatinan Pak Selo akhir-akhir ini-seperti diungkapkannya kepada beberapa asisten dan mantan murid beliau-adalah "bagaimana nasib Negara Kesatuan RI ini setelah amandemen UUD 1945?" Beliau berpesan agar sebelum MPR bersidang lagi bulan Agustus mendatang, para sosiolog-yang selama ini tampak tidak banyak berkomentar tentang amandemen UUD 1945-mengadakan suatu pertemuan ilmiah untuk membahas hal itu dan menyumbangkan pemikirannya kepada para wakil rakyat.

Prof Selo memang tidak akan pernah bisa menghadiri pertemuan ilmiah itu karena kemarin siang pukul 13.00 Tuhan telah memanggilnya. Akan tetapi, spirit beliau tetap akan menyertai kita karena… old soldier never die!

Semoga beliau diberi tempat yang nikmat di sisi-Nya. Amin! *

Quo Vadis Pendidikan IPS di Indonesia

Quo Vadis Pendidikan IPS di Indonesia
Written by Drs. Arief Achmad MSP., M.Pd.
Wednesday, 22 December 2004

http://www.puskur.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=14&Itemid=43

Menyongsong Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)

Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A., guru besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UPI Bandung, mensinyalir + 60% guru PIPS di Indonesia tidak berlatar belakang pendidikan IPS. Sinyalemen ini dikemukakannya pada saat Seminar Nasional dan Musyawaroh Daerah I Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) Jawa Barat, di Bandung (31 Oktober 2002).

Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya apabila dalam kenyataan hidup di masyarakat, mata pelajaran IPS dalam pandangan orang tua siswa menempati kedudukan "kelas dua" dibandingkan dengan posisi IPA, demikian penegasan Prof. Dr. Nursid Sumaatmadja, dalam momentum seminar yang sama.

Sementara itu, pakar PIPS lainnya (seperti Prof. Nu`man Somantri, M.Sc.Ed, Prof. Dr. Azis Wahab, M.A., dan Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, S.H. M.Pd.) mengungkapkan, bahwa proses pembelajaran IPS di tingkat persekolahan mengandung beberapa kelemahan seperti digambarkan dalam tabel di bawah ini beserta faktor-faktor yang menyebabkannya :

Tabel 1 Analisis Kelemahan Proses Pembelajaran PIPS di Tingkat Persekolahan dan Faktor-Faktor yang Menyebabkannya

No. Uraian Kelemahan Proses Pembelajaran Faktor Penyebab

1. Kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi , dan peran PIPS di sekolah Tujuan pembelajaran kurang jelas dan tidak tegas (not purposeful)
2. Posisi, peran, dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan Informasi faktual lebih bertumpu pada buku paket yang out of date dan kurang mendayagunakan sumbr-sumber lainnya
3. Lemahnya transfer informasi konsep ilmu-ilmu sosial Out put PIPS tidak memberi tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan (not empowering and not powerful)
4. Guru tidak dapat meyakinkan siswa untuk belajar PIPS lebih bergairan dan bersungguh-sungguh Siswa tidak dibelajarkan untuk membangun konseptualisasi yang mandiri
5. Guru lebih mendominasi siswa (teacher centered) Kadar pembelajaran yang rendah, kebutuhan belajar siswa tidak terlayani
6. Belum membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan seluruh komunitas sekolah dalam berbagai aktivitas kelas dan sekolah Dalam pertemuan kelas tidak menggagendakan setting lokal, nasional, dan global, khususnya berkaitan dengan struktur sistem sosial dan perilaku kemasyarakatan

IPS tidak sama dengan Ilmu-ilmu Sosial

Pendidikan IPS adalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu. Sehingga baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, maupun ilmu pendidikan tidak akan ditemukan adanya sub-sub disiplin PIPS, yang dalam kepustakaan National Council for Social Studies (NCSS) dan Social Science Education Council (SSEC) disebut "social studies" dan "social science education". Sementara itu, IPS sendiri didefinisikan sebagai

... the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. (NCSS, 2003)

Ini berarti PIPS mencakup kajian terpadu ilmu-ilmu sosial (seperti : antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi) serta diperluas dengan materi humaniora, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Selanjutnya, tujuan PIPS adalah

"to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world" (NCSS, 2003).

Sedangkan Forum Komunikasi II HISPIPSI (1991) di Yogyakarta telah mendefinisikan PIPS sebagai

penyederhanaan atau adapatasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan

PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).

Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah

..mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah

PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan.

Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).

Perbedaan antara ilmu-ilmu sosial dan PIPS, menurut Frasser and West (1993), terletak pada "systematically structured bodies of scholarly content and psychologically structures selection of instructional content".

Menengok Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Dari berbagai dokumen yang dirilis dan disosialisasikan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, akan tampak sebaran mata pelajaran PIPS di dalam struktur kurikulum di berbagai jenjang pendidikan, seperti tampak di dalam matriks di bawah ini

Tabel 2 Matriks Sebaran Mata Pelajaran PIPS di dalam Struktur KBK Jenjang Pendidikan Nama Mata Pelajaran PIPS Diberikan di Kelas Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah

Dari matriks di atas terlihat, semakin meneguhkan menguatnya tradisi dan konsep pemikiran para ahli ilmu-ilmu sosial (semenjak kurikulum PIPS 1975 hingga KBK), sehingga kurang adaptif dengan inovasi hasil pemikiran para ahli PIPS. Hal ini berdampak pada model pengembangan kurikulum yang digunakan serta arah implementasinya.

Model pengembangan KBK, secara teoritik, untuk menyempurnakan model kurikulum sebelumnya yang banyak menggunakan pendekatan sistem instruksional yang selama ini dinilai kurang tepat dengan tuntutan peningkatan mutu.

Beberapa Implikasi

Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) akan berhasil meningkatkan mutu pembelajaran PIPS di Indonesia apabila diikuti dengan pengembangan berbagai model pembelajaran yang selama ini sering terabaikan. Intinya : KBK PIPS perlu dilengkapi dengan Pembelajaran Berbasis Kompetensi (PBK) PIPS.

Karena pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum memiliki potensi untuk lebih dekat dengan "materi subyek" daripada "materi pedagogis", dengan demikian PIPS lebih akrab dengan pola pikir ilmuwan sosial daripada kepentingan dan kebutuhan serta kapasitas perkembangan berpikir sosial peserta didik.

Untuk itu, pengembangan model pengintegrasian isi pelajaran dengan pedagogis dipandang tepat untuk memfungsionalkan materi pelajaran bagi pengembangan potensi pembelajaran, sekaligus untuk memberikan keseimbangan antara pendekatan proses dan pendekatan tujuan.

Penutup

Sanggupkah guru-guru PIPS, yang sebagian terbesar tidak berlatar belakang PIPS di berbagai jenjang dan jenis pendidikan mengaplikasikannya secara praksis? Waktu dan mereka sendirilah yang akan membuktikannya.

Pustaka Acuan

* Al Muchtar, S. (2002). "Analisis Pembaharuan Kurikulum Pendidikan IPS". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung, 31 Oktober 2002.
* Depdikbud. (1994). Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Pusbangkurandik.
* Depdikbud. (1994). Kurikulum SMU. Jakarta : Pusbangkurandik.
* Depdikbud. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Puskur Balitbang.
* Fraser and West. (1993). Social Studies in Secondary School. The Ronald Press.
* Hasan, S.H. (1996). "Relevansi Pendidikan IPS di Perguruan Tinggi dengan Pendidikan IPS di Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung, 31 Oktober 2002.
* NCSS. (1998). Curriculum Standard for Social Studies. Washington, D.C. : NCSS.
* Sanusi, A. (1998). Pendidikan Alternatif : Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung : PPS IKIP Bandung dan PT. Grafindo Media Pratama.
* Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : PPS-UPI dan PT. Remadja Rosda Karya.
* Sumaatmadja, N. (2002). "Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung. 31 Oktober 2002.
* Wahab, A.A. (2002). "Tantangan Pembelajaran PIPS di Sekolah". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung. 31 Oktober 2002.
* Wiriaatmadja, R. (2002). "Pembelajran IPS pada tingkat Sekolah Dasar". Makalah pada Seminar Nasional dan Musda I HISPISI Jawa Barat, UPI Bandung. 31 Oktober 2002.

Listed on BlogShares