Wednesday, July 06, 2005

Wawancara Dengan DR. ANWAR ARIFIN

WAWANCARA TOKOH


http://edents.bravepages.com/edents%20online%20baru/wawancawa-anwar%20arifin.htm


Wawancara Dengan DR. ANWAR ARIFIN
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI)

Oleh Dody HP dan Amar Ustadi A.



Seperti yang telah diutarakan di media massa bahwa saat ini DPR sedang membahas RUU tentang Sistem Pendidikan. Apakah Bapak bisa berikan penjelasan sudah sampai bagaimana perkembangannya ?

Perkembangannya sampai sekarang ini (Mei 2002-red) sudah sampai 98% selesai di DPR. Dan besok akan dijadikan 100%. Sesudah itu kita akan rapat bersama dengan pemerintah untuk membahasnya. Dan mungkin paling lambat pada bulan agustus atau September (tahun 2002) nanti bisa sudah selesai (diundangkan-red)



DPR menerima usulan dari masyarakat juga ?

DPR sampai saat ini masih menerima usulan dari masyarakat, sepanjang belum diketok palu terakhir.



Bapak bisa menjelaskan garis besar materi RUU serta perubahan fundamental terhadap UU Sisdiknas yang lama ?

Garis besarnya yang pertama adalah karena otonomi daerah maka perlu ada pula perubahan sistem pendidikan ini dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Yang kedua adanya kesetaraan antara pendidikan agama dengan pendidikan yang non agama. Yang ketiga adalah kesetaraan antara pendidikan negeri dengan pendidikan swasta. Karena yang dulu selalu disebut dalam APBN kan anggarannya hanya untuk sekolah negeri. Lalu sekolah non pemerintahnya bagaimana ? Yang dikelola oleh swasta tentu banyak dari mereka yang nggak mampu. Tapi istilah swasta juga sudah dihapus, diganti dengan pendidikan yang dikelola dan diselenggarakan oleh masyarakat. Yang berikutnya adalah wajib belajar. Kalau wajib belajar maka negara tentu harus menanggung biaya sebanyak-banyaknya. Yang berikutnya adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan minimal 20 persen dari APBN.

Kemudian ada tentang gaji guru. Kita juga memasukkan itu bahwa hendaknya sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan minimal. Jadi gaji guru itu harus diperbaiki. Dan mengenai masalah guru tadi dirasa sangat penting. Pendidikan Indonesia saat ini sedang dalam bahaya. Saya ulangi, pendidikan sedang dalam bahaya. Lulusan terbaik perguruan tinggi itu memilih bekerja jadi dosen/pengajar itu adalah pilihan yang ke-6 dan ini hasil survey. Mereka yang lulusan terbaik itu memilih pertama bekerja di perusahaan luar negeri/asing, baru pada BUMN, lalu perusahaan swasta bonafid, lalu membuka usaha sendiri dan yang keenam itu baru menjadi dosen. Jadi nanti semua yang jadi dosen atau jadi guru adalah orang yang sebenarnya tidak mampu bersaing di tempat lain. Ya.. khan ?! Kalau jadi guru bersedialah untuk hidup tidak sejahtera. Dan ini tidak boleh terjadi. Tahu gaji di Malaysia ? Gaji seorang guru (profesor) di Malaysia itu kalau di kurskan kira-kira 25 juta. Jadi tak heran bila SDM di malaysia itu kualitasnya lebih dari SDM di Indonesia.



Arif Rahman mengatakan bahwa kualitas SDM kita tidak bisa diperbandingkan dengan negara lain karena variabelnya saja sudah beda, kondisi Indonesia yang berpulau-pulau dan heterogenitasnya tinggi. Bagaimana dengan itu pak ?

Memang hal itu tidak bisa diperbandingkan. Tapi kalau kita yang terburuk maka kan seharusnya kita yang terbaik karena lagi pula kita juga dianugerahi banyak pulau yang kaya-kaya..

Dan kalau yang terburuk bagaimanapun juga dalam soal pendidikan UNESCO membuat ranking mutu dan Indonesia terendah mutunya. Dan terendah gaji gurunya. Tidak benar juga kalau bapak Arif Rahman bilang bahwa itu sama sekali tidak bisa diperbandingkan.

Pada waktu rapat pimpinan komisi kemari saya juga bilang bahwa walaupun undang-undangnya diubah berkali-kali yaa… mungkin hasil optimal yang kita harapkan belum bisa dipetik, selama para guru nasibnya buruk seperti sekarang. Jadi kalau mau memperbaiki pendidikan sebenarnya, buatlah itu bergengsi sehingga orang yang paling cerdas mau menjadi guru. Orang yang paling cerdas di Indonesia mau jadi guru karena memang kesejahteraannya terjamin. Jangan semua orang cerdas nanti meninggalkan sekolah tidak mau menjadi guru. Kalau itu terjadi nanti orang yang tinggal di sekolah (jadi guru) adalah orang yang kemampuannya dibawah rata-rata atau bahkan dibawah rata-rata.



Bagaimana tentang kurikulum ?

Undang-undang ini tidak mengatur lebih jauh tentang itu. Yang ada hanya kalimat kurikulum berbasis kompetensi sedangkan manajemennya berbasis sekolah. Mengenai kurikulum ini berkaitan juga dengan relevansi pendidikan. Kemarin saya baca di koran wakil presiden Hamzah Haz mengatakan bahwa mengapa banyak lulusan IPB itu tidak banyak yang bertani. Ada yang kerja di bank lah, ada yang jadi wartawan. Ini khan namanya penghamburan SDM. Sarjana ekonomi yang menjadi wartawan, sarjana pertanian kerja di bank. Dan ternyata penyebabnya itu adalah adanya kurikulum yang salah. Ini khan sebuah malapetaka yang terjadi. Kita memproduksi tapi hasil produksi (output pendidikan) kita ini tidak terpakai. Saya juga bertanya-tanya sebagai guru apa yang salah ini. Mahasiswa saya di Komunikasi jarang yang menjadi wartawan. Apa yang salah ini ? Kenapa sarjana pertanian malah kerja di bank ? dan ini harus menjadi pertanyaan yang serius oleh semua orang yang berkaitan dengan output pendidikan, dan ini namanya relevansi. Jadi setiap orang itu harus disiplin ilmunya harus diterapkan dengan sesuai. Seperti dalam agama Islam bahwa kalau jika sesuatu itu diserahkan pada bukan ahlinya tunggu kehancurannya. Itu hukum yang pasti. Mengapa terjadi banjir ? karena ada yang salah. Ada yang salah karena alam ini kan diciptakan Tuhan dengan serba otomatis, sebuah sistem. Jadi kalau ada sebuah subsistem yang keliru maka seluruh sistem ini akan keliru. Jadi ada suatu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia yang semua orang harus berpikir.

Dalam manajemen yang berbasis sekolah nanti sekolah mempunyai peningkatan peran untuk mengurus sekolahnya sendiri. Jadi kepala sekolah bukan hanya karena senior saja tetapi juga harus mempunyai leadership yang lebih kompeten untuk berbagai masalah.



Bagaimana tentang pendidikan moral dan budi pekerti ?

Di UU yang baru ini juga nanti ada. Kalau di UU ini memang tekanannya pada akhlak yang mulia. Mendidik anak menjadi cerdas berakhlak mulia dan terampil.



Mengenai soal otonomi daerah, banyak pihak mensinyalir bahwa otonomi daerah itu akan memperlebar jurang perbedaan mutu pendidikan antar daerah. Bagaimana pendapat Bapak ?

Sebenarnya otonomi daerah timbul karena memang ada jurang. Sekarang ada jurang. Kita harus mengerti bahwa saudara-saudara yang sekolah di Jawa itu jauh lebih maju daripada yang sekolah diluar Jawa. Anggaran pendidikannya juga luar biasa tingginya di Jawa. Fasilitasnya sudah terlalu tinggi juga di Jawa. Misalnya saja kalimantan timur yang kaya daerahnya, itu kan pendidikan universitasnya kalah dengan universitas-universitas lain yang di Jawa, apalagi dengan UI. Jadi justru otonomi ini hadir supaya kawan-kawan di luar pulau Jawa itu bisa mengejar ketertinggalannya itu. Dengan adanya otonomi ketimpangan akan dapat dihilangkan karena itu tadi, penghasilan di daerah yang kaya dibawa ke pusat.

Sekarang saja dengan otonomi daerah, daerah seperti Irian Jaya, Riau dan daerah-daerah lain mereka sudah menetapkan anggaran pendidikan, kalau tidah salah, sudah 40%. Tapi memang untuk daerah-daerah tertentu seperti NTT, NTB, Sulawesi dan Maluku itu masih suatu masalah. Tapi saya rasa itu akan bisa diatasi dalam jangka panjang.

Jadi otonomi itu muncul karena kecemburuan orang daerah terhadap di pusat atas fasilita-fasilitas yang dimiliki. Sekarang kita lihat saja mana ada orang lulusan Pattimura bisa jadi menteri kan tidak !? dan saya kira (dengan otonomi daerah) nanti kualitas pendidikan di Papua itu bisa lebih bagus daripada di pulau Jawa. Begitu juga di Kalimantan Timur dan daerah-daerah lain juga bisa.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Listed on BlogShares