Wednesday, July 06, 2005

ISU STRATEGIS DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN PENDIDIKAN, PEMUDA, DAN OLAHRAGA

BAB II
ISU STRATEGIS DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN
PENDIDIKAN, PEMUDA, DAN OLAHRAGA

1. Lingkungan Strategis

Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global. Dalam jangka pendek dan menengah Indonesia dihadapkan pada era persaingan di lingkungan Asean Free Trade Area (AFTA) tahun 2003, dan era Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) tahun 2010. Tantangan tersebut menjadi semakin berat karena sampai saat ini Indonesia belum berhasil sepenuhnya keluar dari krisis multi dimensi yang terjadi sejak tahun 1997. Kondisi ini telah mengahadapkan Indonesia pada sejumlah dampak buruk pada berbagai sisi kehidupan, yaitu ekonomi, sosial, politik dan, keamanan.

Dampak buruk akibat krisis tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kinerja program-program pembangunan pendidikan nasional dalam kerangka pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menuju era persaingan global. Pengaruh langsung krisis ekonomi terhadap pendidikan yang amat dirasakan adalah menurunnya kemampuan orangtua siswa untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah. Gejala ini mengakibatkan meningkatnya jumlah angka putus sekolah serta menurunnya jumlah murid terdaftar pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, yang secara langsung menghambat upaya penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Gejala lain yang cukup memprihatinkan adalah masuknya anak usia sekolah pada berbagai lapangan kerja dan terpaksa putus sekolah. Walaupun belum masuk usia kerja, anak-anak harus bekerja dengan produktivitas rendah untuk menghidupi diri dan bahkan membantu ekonomi keluarga mereka. Jumlah pekerja yang berpendidikan maksimal SD tercatat sebanyak hampir 1,5 juta orang. Jumlah angkatan kerja yang putus sekolah di SD atau MI serta SLTP atau MTs berturut-turut 5,6 juta dan 8,2 juta. Di samping menghambat upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, jumlah putus sekolah yang besar menuntut upaya penyiapan mereka agar menjadi pekerja yang cakap dan terampil sehingga menjadi pelaku pembangunan yang produktif.

Persentase penduduk buta aksara setiap tahun semakin kecil persentasenya. Memasuki awal dasawarsa 1990-an persentase penduduk usia 10 tahun yang buta-aksara tercatat 15,9 persen. Angka itu menurun menjadi 11,6 persen tahun 1999, walaupun persentase perempuan yang buta huruf tetap jauh lebih kecil (7,1 persen) dibandingkan dengan laki-laki (16,0 persen). Secara keseluruhan, penduduk yang tidak pernah bersekolah dan tidak bekerja tercatat sebanyak 13,9 juta orang. Mereka adalah kelompok penduduk yang tidak produktif yang menjadi beban pembangunan. Keadaan inilah yang menjadi penyebab menurunnya daya saing mutu SDM Indonesia dalam era persaingan global.

Penurunan daya saing SDM Indonesia secara global dapat dilihat dari beberapa hasil survey dan penerbitan internasional. World Competitiveness Yearbook menempatkan peringkat daya saing Indonesia pada posisi ke-39 pada tahun 1997 yang temyata menurun ke posisi 46 dari 47 negara pada tahun 1999. Survey SDM, industri, dan iptek yang dilakukan oleh Institute Management Development (IMD, 1999) menempatkan peringkat Indonesia pada posisi ke-44 dari 46 negara dalam penyediaan tenaga insinyur, bahkan pada posisi terrendah dalam kerjasama teknologi antar-industri, dan kerja sama penelitian antara industri dengan perguruan tinggi. Dalam Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (UNDP, 1999) .Indonesia juga berada pada peringkat yang kurang menggembirakan, yaitu posisi 105 dari 108 negara.

Peningkatan di atas, menunjukan bahwa SDM Indonesia belum memiliki kualitas daya saing yang andal, pada saat negara lain berupaya untuk mengejar kekuatan daya saingnya di era global. Berbagai program pembangunan pendidikan nasional dalam rencana strategis ini disusun antara lain dalam rangka memperbaiki posisi Indonesia dalam upaya pembentukan SDM yang berkualitas dan profesional sehingga siap dan mampu bersaing di era pasar bebas, khususnya dalam jangka waktu yang paling dekat menghadapi era AFTA dan APEC.

Dalam kaitan dengan aspek demografis, pertumbuhan penduduk dunia diperkirakan akan mengalami kenaikan sekitar 26 persen dari penduduk usia 15 tahun ke bawah selama kurun waktu 1990-2020. Dalam kurun waktu yang sama, angka pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,7 persen, dan diperkirakan terus menurun hingga mencapai 1,0 persen dalam kurun waktu 2015-2020. Meskipun angka pertumbuhan menurun, namun jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dari 164,6 juta pada tahun 1985,210 juta pada tahun 2000, dan diperkirakan menjadi 269,9 juta pada tahun 2020. Pertumbuhan penduduk usia 7-12 tahun diperkirakan mengalami kejenuhan dan stabil pada jumlah sekitar 25 juta pada tahun 1995. Penduduk kelompok usia 13-15 tahun pada awalnya akan meningkat dan kemudian berangsur menurun mulai tahun 2000. Penduduk kelompok usia 16-18 tahun dan 19-24 tahun diperkirakan terus meningkat secara konsisten sampai tahun 2015 untuk selanjutnya menurun pada 2020.

Dari aspek perkembangan iptek, misalnya, dalam kemajuan aplikasi komputer dan teknologi informasi, telah memberikan dampak efisiensi yang sangat tinggi dalam sebagianjenis lapangan kerja industri, terutama di lini industri barang dan jasa, yang tentu akan mengurangi daya serap terhadap angkatan kerja. Di lain pihak, kebijaksanaan investasi dengan pendayagunaan teknologi padat modal yang umumnya diterapkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, telah mendorong meningkatnya angka pengganguran terbuka yang cukup besar, yaitu 6,3 persen dan setengah penganggur yang mencapai angka 18,9 persen (Sakernas, 2000). Dampak lain dari perkembangan iptek ini adalah terjadinya eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa kendali, terutama terhadap sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) dan akan berdampak buruk bagi kelestarian alam yang akan menjadi beban bagi generasi mendatang, apabila tidak dikendalikan dengan baik.

Proses industrialisasi Indonesia ditandai dengan terjadinya pergeseran struktur ekonomi, dari ekonomi subsistense ke ekonomi modern dengan semakin meluasnya lapangan kerja sektor industri. Di Indonesia, pergeseran struktur ekonomi ini dapat dilihat dari kontribusi sektor industri pengolahan yang semakin besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibanding dengan sektor pertanian. Selama 15 tahun terakhir (1985-1999), PDB sektor industri terus meningkat dari 16 persen pada tahun 1985 menjadi 26 persen pada tahun 1999.

Di lain pihak, PDB sektor pertanian menurun dari 22,7 persen pada tahun 1985 menjadi 16,7 persen pada 1977. Hal ini menunjukkan semakin menurunnya kegiatan ekonomi subsistensi sejalan dengan semakin besamya peran sektor industri pengolahan dalam ekonomi Indonesia. Meningkatnya kembali sumbangan sektor pertanian terhadap PDB menjadi 19,4 persen pada tahun 1999 karena terjadinya perpindahan pekerja sektor industri ke sektor pertanian akibat dari perlambatan pertumbuhan sektor industri sejak masa krisis pada pertengahan tahun 1997.

Dari aspek ketenagakerjaan, selama 15 tahun terakhir proporsi angkatan kerja di sektor pertanian sampai tahun 1999 masih dominan, mencapai 43,2 persen. Walupun proporsi angkatan kerja sektor pertanian cukup besar, produktivitas angkatan kerja sektor ini masih rendah dengan kontribusi terhadap PDB hanya 19,4 persen pada tahun 1999, karena angkatan kerja sektor ini umumnya berpendidikan rendah. Pada tahun yang sama, proporsi angkatan kerja sektor industri menunjukkan angka 12,9 persen. Walaupun kemampuan serap terhadap angkatan kerja kecil, sektor industri mampu menyumbang PDB sebesar 26 persen. Dengan demikian, pendayagunaan teknologi industri padat modal ini kenyataannya hanya memiliki kemampuan serap yang rendah terhadap jumlah angkatan kerja terdidik yang relatif besar. Atas dasar itu, diperlukan percepatan laju investasi untuk pengembangan sektor-sektor subsisten dalam rangka memperluas sektor industri pertanian dengan intervensi modal, pendayagunaan teknologi produksi, serta tenaga kerja terdidik secara proporsional.

Dalam keadaan angka penganggur yang cukup besar, industri kecil dan menengah yang berbasis teknologi rendah (broad base industry) perlu diperluas agar mampu menyerap angkatan kerja terdidik dalam jumlah yang lebih besar. Pada awal abad ke-21, angkatan kerja terdidik diperkirakan akan bergeser dari susunan angkatan kerja kurang terdidik kearah susunan yang lebih terdidik. Menurut Sakemas (1999), persentase angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah sebesar 63,5 persen' cenderung menurun menjadi sebesar 16,04 persen selama kurun waktu 13 tahun terakhir. Walaupun demikian, proporsi angkatan kerja berpendidikan rendah dan tidak pemah sekolah masih dianggap terlalu tinggi untuk mewujudkan masyarakat yang berstruktur industri.

Hampir separuh pekerja sektor formal diisi oleh pekerja yang berpendidikan paling tinggi SD. Pada tahun 1997, angkatan kerja berpendidikan menengah dan tinggi sebesar 13,8 persen dan 1,96 persen, meningkat cukup berarti menjadi 17,2 persen dan 4,3 persen pada 1999. Semakin terdidiknya struktur angkatan kerja nasional, antara lain, dipengaruhi oleh keberhasilan program Wajib Belajar SD yang telah mulai dilaksanakan tahun 1984 dan Wajib Belajar SLTP dalam kerangka wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sejak tahun 1994. Penyebab lain juga karena semakin meluasnya sektor ekonomi remuneratif yang menuntut persyaratan keterampilan dan keahlian yang lebih tinggi untuk mengisi lowongan kerja di sektor-sektor tersebut.

Indikator positif lainnya juga dapat dilihat dari angka investasi, yaitu jumlah penanaman modal asing dan modal dalam negeri terhadap GDP, dari 21,9 persen pada tahun 78/79 menjadi 26,7 persen pada 88/89, dan sempat mencapai 31 persen pada tahun 1997. Angka ini diperkirakan menurun akibat dari adanya krisis kepercayaan dalam masa krisis sampai sekarang. Seandainya angka investasi yang pernah dicapai pada tahun 1997 dapat dicapai kembali tentu akan mengakibatkan naiknya kebutuhan tenaga kerja terampil dan profesional yang semakin besar sehingga akan meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja terdidik. Jika program-program pembangunan pendidikan mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis jabatan dan lapangan usaha, maka akan terjadi peningkatan proporsi angkatan kerja terdidik yang dapat memacu produktivitas nasional serta pertumbuhan ekonomi. Pendayagunaan angkatan kerja terdidik akan berakibat pada peningkatan efisiensi pekerjaan dan mutu hasil kerja karena mereka dianggap lebih mampu dalam mendayagunakan teknologi serta diversifikasi kegiatan ekonomi.

2. Isu-Isu Strategis Kebijakan

a. Isu Kebijakan di Bidang Pendidikan Nasional

Sampai dengan awal abad ke-21 pembangunan pendidikan, pemuda dan olahraga masih menghadapi dampak krisis ekonomi dalam berbagai bidang kehidupan. Walaupun sejak tahun 2000, ekonomi Indonesia telah mulai tumbuh positif (4,8 persen), akibat krisis dalam kehidupan sosial, politik dan kepercayaan dikhawatirkan masih akan memberi dampak yang kurang menguntungkan terutama bagi upaya peningkatan kualitas SDM. Dalam keadaan krisis ini, sistem pendidikan dituntut untuk menyiapkan SDM yang bermutu, yaitu yang memiliki kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam era persaingan global SDM Indonesia harus mampu menguasai keahlian yang terus berkembang dalam berbagai bidang ilmu, teknologi dan seni; mampu bekerja secara profesional dan dapat belajar sepanjang hayat; serta mampu menghasilkan karya unggul yang dapat bersaing di pasar global. Oleh karena itu, kebijakan dan program-program pembangunan pendidikan nasional perlu dibangun dalam kerangka itu.

Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, diperlukan beberapa perubahan dan penyesuaian dalam sasaran strategis, program pembangunan, serta pengelolaan sistem pendidikan nasional. Kebijakan dan program pembangunan pendidikan perlu diarahkan pada peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan nasional baik di pusat maupun daerah agar secara efektif dapat memacu peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta pemerataan kesempatan belajar secara berkelanjutan. Selain mutu dan relevansi, pendidikan yang dikelola secara otonom diharapkan dapat menyediakan kesempatan belajar secara merata dan adil bagi seluruh segmen masyarakat, tanpa membedakan wilayah, kota desa, status sosial-ekonomi, jender, dan kawasan Indonesia.

Pertama, Pemerataan dan Perluasan Pendidikan; sampai dengan awal abad ke-21 Indonesia telah berhasil melaksanakan program perluasan serta pemerataan kesempatan belajar pendidikan dasar melalui program Wajib Belajar Sekolah Dasar (SD) yang dimulai pada tahun 1984 dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) pada tahun 1994. Program wajib belajar tersebut di samping telah memperluas kesempatan belajar pada pendidikan dasar juga telah mendorong perluasan kesempatan belajar padajenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sampai dengan tahun 1997 kesempatan belajar pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP) semakin meluas; persentase penduduk kelompok usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD atau angka partisipasi mumi SD (APM-SD) mencapai 94,96 persen, penduduk usia 13-15 tahun yang bersekolah (APM) di SLTP adalah 55,92 persen. Pada tahun yang sama, angka partisipasi kasar (APK) sudah mencapai angka 113,6 persen di SD dan 72,6 persen di SLTP. Namun, krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 telah berdampak kurang menguntungkan bagi perluasan kesempatan belajar tersebut. Sampai dengan November 1998, APM SD dan SLTP menurun hingga 93,7 persen di SD dan 55,05 persen di SLTP. Penurunan APM ini disebabkan karena penurunan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan selepas krisis seperti ditunjukkan oleh meningkatnya putus sekolah dan menurunnya jumlah pendaftar sekolah. Pada tahun 2000, APM dan APK-SD mulai menunjukkan peningkatan kembali, yaitu 95,6 persen dan 114, persen.

Pemerataan kesempatan pendidikan dasar tersebut masih dihadapkan pada permasalahan efisiensi. Siswa yang terdaftar di sekolah dalam jumlah yang besarbelum menjamin seluruhnya bisa belajar sampai tuntas karena sebagian putus sekolah. Angka putus sekolah dasar pada tahun 1997 sebesar 2,62 persen yang cenderung tidak menurun sejak awal Repel ita V, ternyata sedikit meningkat menjadi 2,63 persen pada masa krisis (November 1998) atau denganjumlah di atas satujuta orang per tahun. Angka melanjutkan lulusan SD ke-SLTP berfluktuasi selama 10 tahun terakhir dan mencapai angka 70 persen tahun 1997, menurun menjadi 64 persen pada tahun 1998, dan naik kembali pada tahun 1999 menjadi 76,87 persen. Pada tahun 1998, jumlah lulusan SD yang mendaftar ke tingkat I SLTP yang berkurang sekitar 400.000 orang sebagai dampak krisis ekonomi, pada tahun 1998 mulai meningkat kembali mendekati keadaan sebelum krisis.

Di samping berkurangnya murid baru tingkat I, angka putus sekolah di SLTP juga cukup besar. Angka putus sekolah yang masih cukup tinggi, yaitu 3,5 persen (SLTP) dan 6 persen (MTs) pada tahun 1997, dalam masa krisis semakin meningkat menjadi 6,19 persen di SLTP dan 8,5 persen di MTs. Tambahan jumlah murid yang putus sekolah selama masa krisis adalah sekitar 214.000 murid SLTP dan 45.000 MTs.

Mereka terpaksa keluar karena menghadapi kesulitan ekonomi orang tua sehagai akibat krisis. Tingginya putus sekolah dan angka melanjutkan yang menurun adalah dua faktor penting yang menjadi kendala utama program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Namun, pada tahun 2000, keadaan putus sekolah sudah mendekati keadaan pada awal tahun 1996.

Angka partisipasi murni kelompok usia 13-15 tahun di SLTP yang tumbuh konsisten sampai dengan tahun 1997 menurun pada tahun 1998. Sampai dengan tahun 1997 APM SLTP yang tumbuh rata-rata 3 persen hingga mencapai 55,92 persen pada tahun 1997 ternyata menurun pada tahun 1998 menjadi 55,05 persen. Walaupun angka putus sekolah dan melanjutkan (lulusan SD) ke SLTP terkena dampak krisis yang buruk, APM-SLTP tidak menurun drastis karena jumlah penduduk kelompok usia 13-15 tahun juga menurun. Namun demikian angka partisipasi riil SLTP menurun drastis hampir mencapai 8 persen sebagai dampak krisis. Pada tahun 1999, APM SLTP mulai meningkat menjadi sebesar 54,67 persen.

Walaupun jumlah lulusan SLTP/MTs yang melanjutkan ke pendidikan menengah umum bertambah dari 2,51 juta pada tahun 1997 menjadi 2,6 juta pada tahun 1998, angka melanjutkan menurun dari 79,15 persen menjadi 71,3 persen pada tahun 1998. Pendidikan menengah umum terdiri dari sekolah menengah umum (SMU) yang menampung 38,54 persen dan Madrasah Aliyah (MA) menampung 7,8 persen lulusan SLTP/MTs. Baik SMU maupun MA merupakan kategori pendidikan umum dan sebagian besar lulusannya dipersiapkan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Perluasan kesempatan pendidikan pada pendidikan menengah umum sejak pertengahan tahun 1997 mengalami perlamhatan karena dampak krisis ekonomi. APK untuk seluruh pendidikan menengah terus meningkat sejak awal Repelita VI, yaitu dari 34 persen pada tahun 1993/94, menjadi 39,3 persen pada tahun 1997/98, dan tetap meningkat pada masa krisis yaitu menjadi 40,5 persen. APK SM tersehut terdiri dari 22,2 persen pada SMU, 4,0 persen pada MA dan 14,27 persen pada SMK. Secara keseluruhan krisis ekonomi tidak berdampak pada menurunnya APK tetapi hanya memperlambat pertumbuhan APK saja.

Pendidikan menengah juga masih ditandai dengan efisiensi yang semakin menurun, yaitu angka putus sekolah yang masih tinggi dan semakin tinggi di masa krisis. Angka putus sekolah di SMU yang berfluktuasi sekitar 4 persen sampai dengan tahun 1997, meningkat menjadi 5,9 persen pada tahun 1998. Pada Madrasah Aliyah (MA), angka putus sekolah meningkat dengan tajam dari 2 persen pada tahun 1993 menjadi 13,6 persen pada tahun 1997, dan semakin meningkat pada masa krisis, yaitu 18,5 persen pada tahun 1998.

Upaya dalam pemerataan kesempatan belajar pada pendidikan tinggi masih menghadapi keterbatasan. Pada akhir 1999 jumlah mahasiswa program S-1 dan program diploma sebanyak 2,97 juta orang, dengan komposisi 935 ribu mahasiswa perguruan tinggi negeri, 1,659 juta mahasiswa perguruan tinggi swasta, 380 ribu mahasiswa perguruan tinggi kedinasan, dan 373,3 ribu mahasiswa perguruan tinggi agama. Penduduk kelompok usia 19-24 tahun yang memperoleh kesempatan belajar di PT, sebanyak 24,7 juta. Dengan demikian, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi pada tahun 1999 adalah 11,80 persen. Angka ini masih di bawah APK pendidikan tinggi di Thailand pada tahun 1991 yang sudah mencapai 16 persen. Atas dasar itu, perluasan kesempatan belajar padajenjang pendidikan tinggi merupakan isu kebijaksanaan pendidikan yang cukup penting.

Kedua, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan adalah tantangan yang paling penting dalam pembangunan pendidikan nasional. Pemeringkatan internasional yang menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia berdaya saing rendah secara global perlu memperoleh perhatian yang seksama. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas SDM adalah gambaran mutu pendidikan yang tidak menggembirakan. Survei tahun 1999 yang berjudul Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R) yang dilakukan oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) tentang prestasi belajar matematika dan IPA siswa sekolah usia 13 tahun pada 38 negara menunjukan posisi Indonesia yang kurang menggembirakan. Berdasarkan survey tersebut, prestasi belajar IPA para siswa Indonesia berada pada posisi ke-32 untuk IPA dan urutan ke 34 untuk prestasi belajar matematika.

Walaupun banyak kalangan yang tidak setuju dengan ranking perguruan tinggi di Asia yang dilakukan setiap tahun oleh Asia Week (2000) hasilnya perlu mendapat perhatian yang seksama. Asia Week menempatkan posisi perguruan tinggi di Indonesia pada urutan yang cukup rendah di Asia, yaitu urutan ke-15 untuk bidang sain dan teknologi dan di bawah 50 besar untuk perguruan tinggi multidisiplin. Namun demikian, berdasarkan kriteria yang digunakan dalam pemeringkatan tersebut yang meliputi antara lain, tingkat kompetisi mahasiswa, SDM, penelitian, dan sumber pembiayaan, maka hasil perbandingan tersebut hampir menunjukan keadaan yang sebenarnya dari gambaran perguman tinggi di Indonesia, sehingga mutu lulusan perguman tinggi Indonesia masih memerlukan peningkatan yang berarti.

Di sisi lain, jumlah pengangguran angkatan kerja terdidik di Indonesia dapat juga menunjukkan salah satu indikator kurangnya relevansi pendidikan. Data Sakernas empat tahun terakhir (BPS 1997-2000) menunjukkan bahwa jumlah penganggur lulusan setiap jenjang pendidikan meningkat dari 4 juta orang pada tahun 1997 menjadi 6 juta pada tahun 2000. Jumlah penganggur lulusan sekolah menengah terus meningkat dari 2,1 juta orang pada tahun 1997 menjadi 2,5 juta orang pada tahun 2000. Peningkatan jumlah penganggur ini juga terjadi pada perguruan tinggi, tidak kurang dari 250 ribu penganggur lulusan sarjana, 120 ribu lulusan Diploma III, dan 60 ribu lulusan diploma I dan II. Dengan demikian mutu dan relevansi setiap jenjang pendidikan merupakan isu kebijakan yang cukup penting.

Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan tersebut dipengarnhi oleh sejumlah faktor. Di antara faktor terpenting adalah mutu proses pembelajaran yang belum mampu menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Hasil-hasil pendidikan juga belum didukung oleh sistem pengujian dan penilaian yang melembaga dan independen sehingga mutu pendidikan belum dapat dimonitor secara obyektifdan teratur. Uji banding mutu pendidikan antarwilayah daerah, antarwaktu, dan antamegara, belum dapat dilakukan secara teratur sehingga hasil-hasil penilaian pendidikan belum berfungsi sebagai sarana umpan balik untuk penyempurnaan proses dan hasil pendidikan. Kurikulum sekolah yang terstruktur dan sarat beban menjadikan proses pembelajaran steril terhadap keadaan dan permasalahan yang terjadi di lingkungan. Akibatnya, proses pendidikan menjadi rutin, tidak menarik, dan kurang mampu memupuk kreativitas murid untuk belajar secara lebih efektif. Sistem yang berlaku juga kurang memungkinkan bagi guru, kepala sekolah, dan pengelola pendidikan di daerah untuk melaksanakan proses pembelajaran serta pengelolaan belajar inovatif. Dengan kurikulum yang kurang luwes dan terstruktur, baik pada sekolah umum maupun kejuruan, belum menjadikan proses pendidikan peka terhadap kebutuhan lapangan kerja. Akibatnya, sekolah cenderung konservatif, kurang fleksibel dan tidak mudah berubah seiring dengan perubahan dalam lingkungan masyarakat. Di bidang pendidikan tinggi, kurikulum yang masih menekankan pada penentuan cakupan materi yang ditetapkan secara sentralistik, perlu dilakukan perubahan menjadi lebih mengarah pada kurikulum yang berbasis kompetensi serta lebih adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan daerah dan masyarakat setempat.

Distribusi guru yang tidak merata serta pendayagunaannya yang belum efisien belum menghasilkan kinerja guru secara optimal. Mutu profesi (kualifikasi dan kompetensi) guru masih dirasakan rendah, terutama disebabkan oleh penyiapan pendidikan guru dan pengelolaannya yang masih perlu ditingkatkan lebih profesional. Kinerja guru yang hanya berorientasi pada penguasaan teori dan hafalan, menyebabkan kemam puan siswa tidak dapat berkembang secara optimal dan utuh. Evaluasi kinerja guru belum ditata di dalam suatu sistem akuntabilitas publik sehingga output pendidikan belum akuntabel dan bermutu. Sistem pembinaan karier guru yang fragmental dan tidak terlembagakan belum mampu mengembangkan mutu profesi guru secara berkelanjutan. Sistem pembinaan karier perlu dibangun agar memiliki civil effect terhadap jabatan, penghargaan, atau perlindungan hukum terhadap profesi tenaga kependidikan sehingga dapat memberikan kesejahteraan, rasa aman, dan kebanggaan profesi.

Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan tinggi juga disebabkan oleh masih rendahnya kualitas tenaga pengajar paling tidak jika dilihat dan kualifikasi pendidikannya. Tenaga pengajar yang sudah berpendidikan S2 dan S3 barn mencapai 47 persen di perguruan tinggi negeri dan baru 30 persen di perguruan tinggi swasta. Dibandingkan dengan jumlah tenaga pengajar yang berpendidikan S2 dan S3 di perguruan tinggi Korea Selatan yang lebih dari 70 persen, maka kualitas tenaga pengajar pada perguruan tinggi di Indonesia masih menyimpan permasalahan yang sangat mendasar.

Pada pendidikan tinggi, kondisi fasilitas pendidikan masih memperlihatkan permasalahan yang cukup serius. Fasilitas pendidikan tinggi terutama peralatan untuk bidang eksakta masih memerlukan peningkatan. Koleksi buku perpustakaan, biaya operasional pendidikan serta biaya penelitian masih memperlihatkan permasalahan yang cukup besar dalam pembangunan perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini belum didukung oleh besarnya anggaran pendidikan yang sampai tahun 2000 masih sangat rendah, yaitu 6,3 persen dari APBN, yangjauh lebih rendah dari Korea, Thailand, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN masing-masing.

Kerjasama lembaga pendidikan dengan berbagai sumber dalam masyarakat dengan maksud meningkatkan mutu pendidikan perlu mendapat perhatian. Kerjasama itu dapat dilakukan dengan lembaga penelitian dan industri baik nasional dan internasional, agar memacu peningkatan mutu pendidikan. Tuntutan masyarakat yang lebih maju terhadap layanan pendidikan menghendaki peningkatan akuntabilitas kinerja pendidikan, sehingga peran dan tanggung jawab setiap satuan pendidikan terhadap masyarakat, pemerintah daerah serta lembaga legislatif menjadi menjadi semakin nyata. Di samping itu hubungan antara perguruan tinggi dengan industri dan juga dengan pemerintah daerah masih perlu ditingkatkan.

Ketiga, Manajemen Pendidikan Nasional. Sentralisasi dalam manajemen atau pengelolaan pendidikan telah menyebabkan kurang berkembangnya kemampuan daerah untuk mengatur dan mengelola berbagai urusan pendidikan daerah masing-masing. Berbagai tahap pembinaan bahkan kebijaksanaan operasional pendidikan dilaksanakan dan dikelola secara langsung oleh aparat pusat, sementara itu fungsi aparaPdaerah hanyalah sebagai pelaksana. Sistem pengelolaan seperti ini mungkin ampuh untuk menjawab permasalahan makro (agregate) tetapi kurang peka terhadap permasalahan mikro pada masing-masing daerah yang bervariasi satu sama lain. Jika permasalahan mutu pendidikan lebih dipengaruhi oleh dinamika pendidikan secara mikro, upaya peningkatan mutu yang terjadi secara berkelanjutan (sustainable) sulit untuk ditingkatkan dengan pendekatan makro dan terpusat.

Walaupun kebijaksanaan pendidikan secara terpusat masih tetap dibutuhkan terutama dalam menetapkan kebijakan serta berbagai standar pendidikan, seperti standar mutu, standar sarana, standar prasarana, standar kualitas guru, dan lain-lain, namun pengelolaan secara operasional yang terpusat telah terbukti kurang efektif. Sentralisasi dalam pengelolaan sampai saat ini adalah faktor terpenting yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan mutu pendidikan antarsegmen masyarakat yang berbeda, karena perbedaan daerah atau kewilayahan, keadaan geografis, keadaan sosial-ekonomi masyarakat, serta karena jenis kelamin. Kesenjangan mutu tersebut terjadi antara lain berkenaan dengan mutu dan ketersediaan sumberdaya pendidikan, proses pembelajaran, anggaran pendidikan, mutu tenaga pengajar, pembinaan sekolah, dan akibatnya tejadi perbedaan mutu keluaran pendidikan.

Sentralisasi dalam pengelolaan anggaran pendidikan merupakan faktor penyebab senjangnya mutu pendidikan. Besarnya biaya sekolah negeri yang bergantung pada subsidi pemerintah pusat seperti gaji pegawai, biaya operasional, serta sarana-prasarana pendidikan merupakan belanja pendidikan yang dikelola secara terpusat. Besamya dana non-budgeter di luar APBN, khususnya dari sumber orangtua siswa, belum diperhitungkan sebagai tambahan sumber untuk belanja pendidikan. Dana non-APBN itu besamya bervariasi, sekolah-sekolah yang sebagian besar siswanya berasal dari keluarga mampu memperoleh dukungan anggaran yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan lebih besar pula untuk meningkatkan mutu pendidikan. Keadaan sebaliknya sekolah-sekolah yang sebagian besar siswanya berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan demikian, efisiensi dalam pengelolaan anggaran pendidikan pada tingkat satuan pendidikan merupakan isu kebijaksanaan pendidikan yang cukup strategis.

Di masa yang akan datang, tantangan yang paling penting dalam kaitan dengan realisasi otonomi daerah adalah tersusunnya kebijakan untuk mendelegasikan wewenang operasional pemerintah pusat ke daerah di bidang pendidikan. Otonomi harus dapat diwujudkan dalam bentuk kemampuan setiap daerah untuk mengambil keputusan sendiri dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan permasalahan dan tantangan yang berbeda-beda. Dengan demikian, pembinaan kemampuan daerah agar mampu mengelola pendidikan di daerah masing-masing merupakan prasyarat mutlak untuk perwujudan desentraliasi pengelolaan pendidikan.

b. Isu Kebijakan Bidang Kepemudaan

Sampai saat ini peranan pemuda Indonesia sejak masa kebangkitan nasional, perjuangan kemerdekaan, sampai dengan masa orde baru mengalami pasang surut. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia, partisipasi para pemuda sejak masa kebangkitan nasional dan masa perjuangan kemerdekaan cenderung tidak banyak berubah sampai sekarang. Partisipasi pemuda cenderung lebih dimanfaatkan oleh pemerintah yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Orientasi dalam pembinaan kepemudaan seperti ini cenderung kurang mampu menjadikan para pemuda Indonesia menjadi pelaku-pelaku yang terampil dan produktif dalam kegiatan berbagai sektor ekonomi.

Sistem ekonomi yang monopolistik dan elitis pada masa orde baru telah cenderung menempatkan sejumlah besar pemuda terdidik menjadi penganggur, sehingga kegiatan kepemudaan lebih menonjol dalam kegiatan-kegiatan politik praktis. Para pemuda yang kurang dilibatkan dalam kegiatan ekonomi produktif tersebut telah menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi terpuruknya ekonomi nasional.

Berdasarkan hal-hal tersebut, pembinaan kepemudaan perlu direvitalisasi sedemikian rupa sehingga, pemuda yang memiliki potensi besar itu menjadi kekuatan penggerak yang ampuh dalam proses pembangunan ekonomi nasional.

c. Isu Kebijakan Bidang Olahraga

Isu kebijakan olahraga berkaitan dengan perubahan dinamik dari lingkungan strategis olahraga dalam lingkup global, terutama yang dipayungi oleh Gerakan Olympiade, dan organisasi profesional pendukungnya, yang berpengaruh terhadap peningkatan kesadaran akan saling ketergantungan antar bangsa melalui proses difusi kultur olahraga Permasalahan yang dihadapi oleh sistem keolahragaan nasional bersumber dari tekanan faktor eksternal, mencakup politik, ekonomi, dan budaya

Perubahan strategi pembangunan nasional dari sentralisasi menjadi desentralisasi dalam pengertian Otonomi Daerah akan lebih banyak menekankan peranan dan partisipasi masyarakat melalui upaya swakelola dan swadana dalam pembinaan olahraga yang searah dengan upaya akselerasi pertumbuhan demokrasi di segala bidang. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pergeseran kebijakan publik di bidang olahraga pada umumnya ke arah pemberdayaan masyarakat di bidang olahraga.

Pergeseran orientasi nilai budaya dari orientasi asketisme menjadi hedonisme, juga secara nyata telah mempengaruhi perubahan kultur gerak. Pergeseran ini pada gilirannya juga mempengaruhi sikap dan motivasi masyarakat terhadap olahraga, di samping perubahan jenis-jenis kegiatan olahraga atau aktivitas jasmani lainnya. Perubahan orientasi yang amat mendasar ialah bahwa kegiatan berolahraga tidak selalu dalam pengertian olahraga kompetisi dan pencapaian prestasi setmggi-tingginya, tetapi juga tertuju pada tujuan lainnya, seperti untuk kebugaran jasmani, kesehatan, keelokan bentuk tubuh, pengobatan atau Pencegahan penyakit berbahaya.

Memasuki abad ke-21, semakin tajam arah orientasi olahraga ke arah tujuan yang bersifat ekonomi, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Yang bersifat tidak langsung yakni derajat kebugaran jasmani dan kesehatan yang baik, yang diperoleh dari kegiatan berolahraga, memberikan sumbangan terhadap menurunnya biaya perawatan kesehatan, mengurangi angka ketidakhadiran dan ketahanan melaksanakan tugas di tempat kerja. Sumbangan olahraga secara langsung terhadap ekonomi ialah dalam rangka mengembangkan olahraga industri yang dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Sejak tahun 1980-an, ekonomi olahraga tumbuh dalam eskalasi yang semakin besar, dan Indonesia tampaknya kurang mampu merespon kecenderungan tersebut.

3. Prioritas Kebijakan Pembangunan

a. Prioritas Bidang Pendidikan

Berdasarkan arah kebijakan pembangunan nasional dan dengan memperhitungkan berbagai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan strategis serta isu-isu strategis dalam pembangunan nasional, maka ditetapkan prioritas pembangunan pendidikan nasional untuk kurun waktu 5 tahun kedepan (2000-2004). Prioritas pembangunan pendidikan nasional kedepan secara sistematis diarahkan pada peningkatan mutu dan keunggulan serta efisiensi pendidikan. Untuk itu, tiga dimensi dalam peningkatan mutu dan keunggulan pendidikan mendapat perhatian paling besar untuk lebih dikembangkan melalui berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Ketiga dimensi prioritas yang disebut trilogi pendidikan itu adalah pendidikan akhlak, budi pekerti dan kewarganegaraan; pendidikan ilmu-ilmu dasar sebagai bagian dari pendidikan iptek; dan pengembangan kemampuan belajar melalui membaca dan menulis.

Berkaitan dengan peningkatan mutu, keunggulan, dan efisiensi pendidikan tersebut, prioritas pembangunan pendidikan nasional dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Meningkatkan angka partisipasi pada semua jenjang pendidikan hingga mencapai: APK pendidikan prasekolah sebesar 23,7 persen, APM pendidikan tingkat SD sebesar 96 persen; APM pendidikan tingkat sekolah lanjutan pertama sebesar 62,84 persen; APM pendidikan tingkat sekolah lanjutan atas mencapai 36,2 persen yang terdiri dari 24,7 persen di SMU dan 11,5 persen di SMK; serta APK pada tingkat perguruan tinggi mencapai 15 persen.
2. Peningkatan kualitas setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan dengan menitik beratkan pada pengembangan kurikulum, proses pembelajaran, sarana pendidikan, akreditasi, serta penilaian yang berbasis kompetensi pada setiap satuan pendidikan yang mampu menanamkan sikap, perilaku dan prestasi unggul bagi peserta didik untuk memacu daya saing bangsa.
3. Peningkatan kemampuan peserta didik dalam Matematika dan IPA pada jalur pendidikan dalam sekolah dalam kelompok 20 terbaik di dunia.
4. Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris perlu menitik beratkan pada penanaman kemampuan ekspresif dalam membaca, berbicara, dan menulis sebagai bahasa ilmu pengetahuan serta sarana untuk dapat belajar berkelanjutan.
5. Penataan program studi dalam komponen sistem pendidikan akademik yang berorientasi pada upaya pencapaian keunggulan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai dengan pendidikan tinggi akademik.
6. Penataan program studi pendidikan kej uruan dan pendidikan tinggi profesional serta pendidikan kejuruan di luar sekolah, dalam rangka mewujudkan sistem pendidikan persiapan kerja yang berorientasi pada kebutuhan pasar kerja yang terus berubah sejalan dengan perkembangan teknologi yang memerlukan tenaga profesional pada setiap tingkatan (terampil, mahir, semi-profesional, profesional, dan ahli).
7. Penyempurnaan kurikulum pendidikan menengah kejuruan, pendidikan tinggi profesional dalam rangka mengembangkan profesionalisasi SDM yang memiliki keterampilan, keahlian dan nilai-nilai produktif dalam rangka menghasilkan karya-karya yang bermutu dan dapat bersaing dalam pasar internasional.
8. Perwujudan lingkungan yang berdisiplin dan bermakna agar semakin kondusif sehingga setiap satuan pendidikan terbebas dari pengaruh penyalahgunaan obat-obat terlarang, kekerasan dan penyimpangan seksual.
9. Meningkatkan status, profesionalisme dan kesejahteraan guru serta tenaga kependidikan lain, melalui peningkatan penghasilan guru dan tenaga pengajar pada perguruan tinggi secara bertahap melalui subsidi pajak pemilikan dan penghasilan pada golongan tertentu; pengembangan sistem pembinaan karier guru dan tenaga kependidikan lainnya dengan menyempumakan sistem fungsional guru, tenaga akademik, peneliti yang lebih obyektif dan mendidik; pembinaan dan pemberdayaan organisasi profesi yang memiliki kewenangan profesional untuk memberikan sertifikasi mengajar; peningkatan profesionalisme tenaga pengajar dan tenaga kependidikan lain melalui strategi pengembangan ketenagaan dengan sistem akuntabilitas yang relevan, bermutu, terarah, dan terstandar.
10. Perwujudan desentralisasi pengelolaan pendidikan serta penyelenggaraan proses belajar-mengajar dengan meningkatkan otonomi dalam mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan yang mandiri pada tingkat daerah (kabupaten/kota) satuan pendidikan, serta masyarakat.

b.Prioritas Bidang Kepemudaan

Pemberdayaan generasi muda diarahkan untuk mempersiapkan para pemuda sebagai pelaku-pelaku pembangunan, khususnya dalam konteks pembangunan karakter bangsa yang produktif dalam era persaingan golbal. Oleh karena itu prioritas pembangunan kepemudaan adalah sebagai berikut.

1. Penelitian dan pengembangan bidang kebijaksanaan pembinaan kepemudaan yang lebih mengarah pada tercapainya keserasian pembangunan kepemudaan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan setiap sektor pembangunan, khususnya kegiatan sosial yang positif serta kegiatan ekonomi produktif dalam rangka memacu produktivitas nasional.
2. pengembangan aspek mental dan moral pembangunan para pemuda melalui sistem pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah khususnya melalui pendidikan agama, pendidikan jasmani dan olahraga, pendidikan budi pekerti dan kewarganegaraan, serta pendidikan keterampilan pemuda.
3. Pengembangan partisipasi pemuda dalam organisasi kepemudaan yang lebih menekankan pada pengerahan para pemuda dalam kegiatan ekonomi produktif melalui kegiatan usaha kecil dan menengah khususnya dalam sektor-sektor ekonomi pedesaan.

c. Prioritas Bidang Olahraga

1. Perluasan olahraga masyarakat yang bertumpu pada kemampuan swakelola dan swadana, dengan maksud untuk meningkatkan partisipasi masyarakat pada berbagai tingkat usia dan jenis kelamin, secara nyata, sesuai dengan gerakan "memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat".
2. Pembinaan olahraga prestasi dengan meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana olahraga serta sumberdaya manusia yang kompeten. Fondasi pembinaan prestasi dibangun melalui pendidikan jasmani, baik melalui pendidikan di sekolah maupun melalui pendidikan masyarakat, yang didukung oleh aspirasi masyarakat melalui partisipasi dalam olahraga masyarakat. Pembinaan prestasi ini perlu didukung olah penempatan fasilitas olahraga yang terpadu dengan keseluruhan sistem pembinaan olahraga, termasuk jangkauan lokasi geografis yang beragam.
3. Pengembangan pelayanan olahraga untuk untuk kelompok khusus, terutama untuk orang cacat, seperti halnya pendidikan jasmani untuk anak-anak cacat, yang masih membutuhkan peningkatan dalam berbagai aspek, seperti tenaga pembina yang kompeten, termasuk sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan pembinaannya.
4. Pengembangan dan penerapan iptek olahraga dalam rangka meningkatkan efisiensi dalam praktek-praktek pembinaan olahraga prestasi. Industri olahraga dalam negeri baru sampai tarar memperoleh hak paten untuk berproduksi terutama untuk perlengkapan, seperti sepatu olahraga dan pakaian olahraga.
5. Peningkatan penelitian dan pengembangan bidang keolahragaan baik di perguruan tinggi maupun dalam lembaga-lembaga penelitian lainnya untuk dijadikan landasan dalam pembangunan olahraga. Penelitian olahraga dilakukan terhadap berbagai jenis permainan atau olahraga tradisionaJ yang menjadi bagian dari kultur masyarakat yang semakin punah. Penelitian dan pengembanan juga di perlukan dalam aspek peralatan dan perlengkapan olahraga yang hampir seluruhnya bergantung pada produk impor yang mahal.
6. Penerapan sistem manajemen olahraga yang lebih efisien melalui perencanaan, pengorgansasian, koordinasi, dan pengendalian kegiatan dengan ukuran keberhasilan yang jelas.
7. Penataan landasan serta pengkajian kelayakan institusional dalam rangka pengembangan industri olahraga.
Selanjutnya, rencana strategi pembangunan nasional bidang pendidikan, pemuda dan olahraga untuk kurun waktu 2000-2004 akan diuraikan ke dalam sasaran dan rencana strategis pembangunan pendidikan nasional pada masing-masing Bab berikut ini.

http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/Renstra/bab-II.htm

Dibuat dan dikelola oleh Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang - Depdiknas



© 2001 Hak Cipta oleh Departemen Pendidikan Nasional

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Listed on BlogShares