Wednesday, July 06, 2005

KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA: PENATAAN POLA PIKIR

KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA: PENATAAN POLA PIKIR[1]

Oleh: Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, MA -- Dosen Antropologi Universitas Indonesia Jakarta



Pendahuluan

Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.

Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan berbagai ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya bisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah “bangsa yang sedang sakit”, suatu kesimpulan yang tidak pula menawarkan solusi.

Timbul pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain? Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, “Saya malu menjadi orang Indonesia” dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan, “Saya siap untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini”? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok orang banyak? Mengapa pula banyak orang, termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila harus “disingkirkan” sebagai dasar negara? Kaum intelektual yang sama di masa lalu adalah penatar gigih, bahkan “manggala” dalam pelaksanaan Penataran P-4. Pancasila adalah “asas bersama” bagi bangsa ini (bukan “asas tunggal”). Di samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.

Perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan sebagai “de hoogste politieke beslissing” dan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara)[2].

[1] Makalah diajukan pada Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, 20-22 Oktober 2003.

[2] Pancasila dan UUD 1945 telah dipersiapkan oleh para pendiri negara kita sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara sarat dengan itikad menjaga, melindungi, mempersatukan dan membangun rakyat dan tanah air Indonesia, agar bangsa kita cerdas hidupnya (tidak rendah diri dan tidak sekedar cerdas otaknya) dan mampu untuk meraih kemajuan adab, setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Manifesto kultural “Bhineka Tunggal Ika” merupakan tekad untuk membentuk kohesi sosial dan integrasi sosial, serta menyiratkan landasan mutualisme (kebersamaan, dalam perasaan maupun perilaku) dan kerjasama yang didasarkan atas kepentingan bersama dan perasaan kebersamaan. Dari kebersamaan dapat lebih lanjut berkembang dan tertanam perasaan saling memiliki dan menghargai di antara rakyat Indonesia, serta perasaan bersatu sebagai suatu kesatuan yang mempunyai milik bersama, dan mengutamakan kepentingan bersama demi kesejahteraan bersama pula.

Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia: Identitas Nasional dan Kesadaran Nasional

Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai “puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.

Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: “Siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?”

Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-kongres kebudayaan yang lalu.

Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Makalah ini akan membatasi diri pada dua hal pokok yang menurut hemat penulis perlu menjadi titik-tolak utama dalam “membentuk” kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional. Dalam kaitan ini, “Bhineka Tunggal Ika” adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.

Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional.). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme. Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing.

Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.



Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural

Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.

Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.[3]

[3]Lihat kumpulan tulisan dalam Aryo Danusiri dan Wasmi Alhaziri, ed., Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa Gagasan, Jakarta: SET, 2002; dan Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur, Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya, 2003

Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi, keanekaragaman.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.

Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir

Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistik ini adalah rakyat yang juga warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan dan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambinghitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau “alergi” terhadap perkataan “Pancasila”. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat: “Apa dasar negara kita nanti?”.

Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius dan mendalam oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk menjadi pedoman berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar negara itu maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak “ela-elo” (Sastro Gending di zaman Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri, harga diri dan percaya diri)[4].

[4] Lihat tulisan S.E. Swasono yang menggambarkan kekacauan dan porak-porandanya bangsa ini dengan mengacu kepada isi senandung Sastro Gending di zaman Sultan Agung Mataram, “Ela-elo …”, yang pada dasarnya melukiskan kekacauan jati diri, harga diri dan percaya diri, yang berlanjut terus sehingga sekedar menjadi koelie, memperoleh “cap” het zachte volk ter aarde, een koelie onder de volkeren (bangsa paling lemah di muka bumi, kuli dari segala bangsa), dan bangsa inlander (pribumi yang mengandung konotasi klas bawah yang terbelakang) dan kehilangan semangat juang dalam membela harga dirinya (S.E. Swasono, “Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanya­kan Jatidiri Bangsa”, makalah diajukan pada Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003).

Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita baru-baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak sesuai dengan tujuannya melainkan justru merubah makna yang terkandung di dalamnya[5]. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu pedoman acuan lain yang dianggap dapat mengungguli Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk menghapus Pancasila itulah yang harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap mindset perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan bangsa kita dari ketidakadilan yang menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disintegrasi sosial, serta koyaknya keutuhan negara.

[5] Lihat tulisan A.S.S. Tambunan, UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2002.

Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh para pendiri negara kita. Hakekat reformasi adalah “pembaharuan” dan juga “back-to-basics”, dalam arti meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna sejarah sebagai acuan untuk membangun masa depan.

Nilai-nilai dalam UUD 1945 menanamkan pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat, tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Terdistorsinya nilai-nilai ini terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya pula), yaitu adanya “pembodohan sosial” di hadapan kita, antara lain dengan diajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, dalam dunia yang borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh negara-negara yang lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme dan predatorisme.[6] Pelaku dan korban “pembodohan sosial” ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum intelektual kita, yang sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi[7].

[6] Untuk paham nasionalisme dan dinamikanya, lihat tulisan Leah Greenfeld, The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001; tulisan Ian S. Lustick, “The Riddle of Nationalism: The Dialectic of Religion and Nationalism in the Middle East”, Logos, Vol. One Issue Three, Summer 2002; tulisan Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso, 1983. Mengenai hegemonisme dan predatorisme, lihat tulisan James Petras dan Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked: Imperialism in the 20 th Century. London: Zed Books, 2001.

[7] Kaum intelektual kita tersebut tidak sadar bahwa dalam posisi subordinasi itu, kita tidak bisa memusatkan diri untuk menolong bangsa kita sendiri dari keterpurukan sosial-ekonomi yang sedang dialaminya. Bahkan sebagian di antara kaum intelektual kita itu cenderung menjadi “corong” bagi intrusi dalam rangka strategi kekuatan asing yang ingin menguasai (overheersen) tanah air dan bangsa kita sebagai kecenderungan (instinct) hegemonisme dan predatorisme, dari segi ekonomi, sosial dan budaya, melalui cara-cara yang canggih dan seringkali sangat terselubung. Dengan kata lain, adalah suatu absurditas bahwa mindset rendah diri (minder) terbentuk di kalangan sejumlah kaum intelektual kita, yang mewajarkan globalisasi sebagai proses subordinasi nasional, dan yang mewajarkan gagasan bahwa tidaklah penting bagi kita untuk menjaga kepentingan nasional, kedaulatan nasional dan integritas teritorial, pada saat mereka menerima doktrin superordinasi tentang the borderless world seperti tersebut di atas. Tidaklah berarti bahwa nasionalisme Indonesia harus mengabaikan tanggung jawab global, namun sebaliknya, kita harus menghormati tanggung jawab global dengan tetap mengutamakan dan membela kepentingan nasional kita sendiri. Lihat tulisan James Retras dan Henny Veltmeyer, op. cit., dan tulisan J.W. Smith, Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe, 2000.

Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis

Upaya untuk “membentuk” suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared intrerest dan common property)[8] perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat keluarga, ketetanggaan[9], masyarakat luas hingga ke tingkat negara. Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional harus pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program atau pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas dan kebersamaan sinergis[10]. Beberapa contoh akan dikemukakan di bawah ini.

[8] Lihat tulisan M.F.H. Swasono, Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1974.

[9] Di tingkat keluarga dan ketetanggaan, prinsip kebersamaan dapat menggalang pertolongan dan perlindungan, dalam menghadapi tantangan kehidupan yang berat, tidak saja di bidang ekonomi tetapi juga di bidang kesehatan, pekerjaan, dll. Perawatan sosial, kepedulian dan perlindungan sosial yang menenteramkan batin dan mendorong kesehatan mental yang baik dapat digalang dan dikemas dalam landasan kebersamaan ini bagi warga masyarakat yang mengalami penderitaan.

[10] Dalam kaitan dengan mutualisme, dikutipkan pernyataan Sri-Edi Swasono yang menempatkan integritas dan solidaritas nasional dalam masyarakat multietnik bukanlah sebagai suatu hal yang mustahil, sebagai berikut: “Pluralisme Indonesia tergambar dari dimilikinya tidak kurang dari 470 sukubangsa dan 19 daerah hukum adat (adatrechtskringen) yang mula-mula disusun oleh Van Vollenhoven (Ter Haar 1948), mengikuti batasan-batasan Narroll (1964) dan tentang kelompok etnik dan perkembangannya sebagaimana dikemukakan oleh Barth (1969), saya berkesimpulan bahwa multietnik Indonesia mencuatkan sikap-sikap dan solidaritas kesukuan (“primordialisme”), bukan ke arah pengkukuhan (“solidity”) identitas suku, tetapi lebih berupa gerak-gerak divergensi yang berkandungan politis, atau berdasar alasan-alasan lain yang nonetnikal. Alasan yang lebih nyata dari divergensi ini adalah ketidakadilan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang terjadi dalam proses pembangunan bangsa yang lebih berdasar pada wilayah ekonomis daripada wilayah etnikal (misalnya penentuan batas-batas provinsi dan residensi yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda lebih merupakan batas-batas administratif dan pada batas-batas etnikal). Koentjaraningrat (1993) berbeda pendapat dengan Geertz dalam menanggapi “primordialisme” sebagai hambatan terhadap pembentukan integritas nasional dan kesatuan nasional. Geertz tidak mengajukan pemecahan terhadap hambatan-hambatan ini kecuali menurut Koentjaraningrat, dengan satu kalimat yang tidak simpatik, yaitu: Balkanisasi, fanatisme Herrenfolk (bangsa adikuasa) dan penekanan oleh negara leviatan (negara otoriter). Dari sini dapat dinilai bahwa Koentjaraningrat memiliki kecenderungan menolak proses primodalisme etnikal dan memiliki preferensi dan rasionalitas normatif kuat terhadap terbentuknya integritas dan solidaritas nasional dalam rangka proses pembentukan budaya nasional. Tentu bagi Bapak Antropologi Indonesia ini, terbentuknya suatu integritas dan solidaritas nasional ini “tertangkap” sebagai layak, dapat diwujudkan dan mampu bertahan. Masalah sukubangsa dan kesatuan nasional di Indonesia telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu negara berkembang besar yang multietnik memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk mengintensifkan peranan identitas nasional dan solidaritas nasional di antara warganya” (lihat S.E. Swasono, “Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanyakan Jatidiri Bangsa”, makalah diajukan pada Diklatpim diselenggarakan oleh LAN-RI di Jakarta, 2 Mei 2003: 3).

Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti “sekolah unggulan” dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional harus menum­buhkan pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi "proyek bersama" siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai “siswa sekolah Indonesia”, di manapun tempat bersekolahnya.[11]

[11] Hal ini, jika dirancang dengan cermat, akan sekaligus membangkitkan kecintaan pada tanah air dan bangsa, yang menjadi landasan utama untuk menumbuhkan persatuan bangsa. Di pihak lain, kebersamaan dan pola pikir tentang “guru Indonesia”, bukan “guru lokal”, harus ditumbuhkankan antara lain melalui pertukaran dalam kunjungan kerja guru, misalnya guru di daerah pedalaman mendapat kesempatan kunjungan kerja di daerah pantai dan sebaliknya, dalam perjalanan antar pulau di Indonesia. Dengan demikian guru akan memperoleh wawasan dan kualitas mengajar yang lebih baik bagi murid-muridnya dan dapat tampil berwibawa dengan harga diri yang tinggi.

Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. Sosialisasi dari platform rnasional akan memformulasi mindset masyarakat. Adalah suatu “kecelakaan” besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.

Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga penting sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran nasional dan identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (“brotherhood”) dan “keluarga luas” (extended family), dengan makin meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah masyarakat kita, yang menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memelihara identitasnya[12]. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan komunikasi yang mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness) dalam tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997)[13]. Dalam pemahaman prinsip kebersamaan dan kerjasama sinergi ini pula kita dapat lebih mengamati adanya primordialisme yang memperoleh makna baru di antara masyarakat kita[14].

[12] Perkawinan campuran tidak harus menghilangkan identitas pelaku yang menikah, melainkan dapat memberikan kondisi yang menumbuhkan perasaan mengenal, menghargai dan kebersamaan bahkan juga perasaan saling memiliki di antara pihak-pihak yang melakukan perkawinan campuran itu, sebagai sama-sama orang Indonesia. Perkawinan campuran juga tidak dapat dilihat sebagai penyeragaman menjadi satu kebudayaan yang baru yang mengabaikan identitas sukubangsa.

[13]. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, “ … Greeting, I am pleased to see that we are different, may we together become greater than the sum of us …” sebagai cerminan mutualisme dan perasaan bersama (togetherness) di antara mereka yang berkomunikasi, (lihat Gudykunst dan Young Yun Kim, Communicating with Strangers. Boston: McGraw Hill, 1997, hlm. 3). Persatuan Indonesia berdimensi mutualisme dan perasaan bersama ini.

[14] Primordialisme sering dilihat dari sudut pandang yang kurang baik, namun di pihak lain, primordialisme juga bisa berfungsi menjadi sarana untuk preservasi nilai-nilai budaya sukubangsa. Primordialisme dapat berkembang ke tingkat yang lebih luas daripada sekedar primordialisme di lingkungan kelompok. Kita juga dapat melihat primordialisme pada masyarakat Indonesia yang telah hidup menetap di luar negeri, namun tidak melupakan komunitinya di tanah air dan di lingkungan sosial negara asing, masih mengikuti dan ikut peduli akan perkembangan tanah air. Hal yang diperlukan adalah strategi dalam menanamkan prinsip kebersamaan untuk meningkatkan kepedulian mereka dan partisipasi yang lebih aktif bagi kepentingan tanah air, agar dapat menjadi “pembela citra bangsa”, bukannya orang yang “malu menjadi orang Indonesia” di kala negara sedang berada dalam keterpurukan.

Dengan orientasi kebersamaan dan kerjasama pula, di bidang perhubungan, perlu digerakkan usaha seluruh maskapai penerbangan nasional untuk maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa. Penggunaan berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi, menjangkau pelosok tanah air yang terpencil serta mendekatkan “jarak sosial-politik” dan “jarak psiko-sosiokultural” di dalam jarak mileage fisik. Demikian pula dengan pembangunan industri pariwisata di berbagai pelosok tanah air.[15]

[15] Orientasi kebersamaan dan kerjasama antara berbagai maskapai penerbangan maupun dengan sarana angkutan darat, laut dan sungai, dalam praktek dapat menumbuhkan jaringan kerjasama yang lebih besar, yang tidak saja akan dapat menunjang perkembangan dunia pariwisata Indonesia, melainkan juga program-program pembangunan nasional lainnya di lokasi-lokasi yang selama ini belum terjangkau oleh program-program pembangunan. Dengan demikian, rakyat kecil di berbagai daerah terpencil di mana pun di seluruh penjuru tanah air dapat tersentuh oleh tangan-tangan pembangunan nasional. Hal ini tidak saja akan bisa mengurangi perasaan ketidakadilan yang muncul karena tidak merasa menikmati hasil pembangunan, sebaliknya akan dapat mengembalikan rasa persatuan dan solidaritas antar sesama bangsa, yang selama ini terasa hilang dari kalbu anak bangsa (lihat tulisan M.F. Swasono, “Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Menjelang AFTA 2002”, Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003, hlm. 10-15).

Di bidang ekonomi, mutualisme memang dapat lebih nyata dan praktis dilaksanakan. Baru-baru ini kita telah melihat proses mulai tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh dari pola pikir persaingan, melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan mutualitas, sebagaimana yang ditunjukkan oleh gagasan untuk membentuk Gerakan Pembangunan Mina Bahari[16]. Penulis menyaksikan semangat menggebu-gebu dari para camat dan bupati yang mulai merancang program kerja antar daerah yang termasuk dalam jangkauan gerakan pembangunan di Teluk Tomini itu. Percikan semangat kebersamaan itu bahkan juga menjangkau komuniti nelayan Bajo yang masih hidup dalam kondisi keterbatasan sosial-ekonomi di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, yang berharap memperoleh partisipasi pula dalam gerakan pembangunan ini melalui pemanfaatan potensi budaya mereka sebagai nelayan. Dengan demikian, manfaatnya tidak saja berupa keuntungan ekonomi yang bersifat regional melainkan juga nasional. Selain itu proyek ini juga dapat memberikan kebanggaan daerah dan kebanggaan nasional, perluasan tenaga kerja, sekaligus meningkatkan harkat ekonomi dan sosial rakyat di daerah-daerah, termasuk rakyat kecil, yang bersemangat untuk membangun daerah mereka agar menjadi tuan di negeri sendiri[17].

[16] Gerakan Pembangunan Mina Bahari (disingkat Gerbang Mina Bahari) ini dicanangkan pada tanggal 11 Oktober 2003 oleh Presiden Republik Indonesia di atas KRI Teluk Daltele di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah. Dalam jangka pendek, Gerakan Pembangunan Mina Bahari diharapkan dapat memproduksi perikanan hingga 9,5 juta ton pada tahun 2006. Selain itu diharapkan bahwa kerjasama ketiga provinsi ini dapat memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 10% dari seluruh ekspor senilai USD 10 milyar, dengan menyerap kerja 7,4 juta orang (Kompas 12 Oktober 2003). Di balik angka-angka yang tercantum itu, tersirat suatu bentuk kerjasama yang telah mulai dilaksanakan, yang sekaligus memberikan lapangan kerja baru bagi rakyat sekitar Teluk Tomini.

[17] Gerakan Pembangunan Mina Bahari merupakan perwujudan Otorita Teluk Tomini yang melibatkan tiga provinsi, yang meliputi 9 kabupaten dan dua kota, yaitu: Kabupaten Banggai, Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi (di Provinsi Sulawesi Tengah), Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bualemo dan Kota Gorontalo; (di Provinsi Gorontalo); dan Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bitung dan Kota Bitung (di Sulawesi Utara). Kebersamaan antara ketiga provinsi tercermin dari kerjasama ini, yang apabila tetap dilaksanakan dalam prinsip kebersamaan dan kerjasama yang mengutamakan dan memahami kepentingan regional dan nasional, akan dapat menunjukkan prinsip “menjadi tuan di negeri sendiri”, melepaskan diri dari pola pikir ketergantungan yang telah sejak beberapa lama mendistorsi landasan yang dicita-citakan oleh para pendiri negara kita.

Semangat ini telah mulai membentukkan suatu kohesi sosial, yang makin luas jangkauan teritorialnya, dan akan makin luas pula dampaknya terhadap penjalinan persatuan nasional. Di samping itu perlu pula diberikannya peluang yang mendorong kemampuan entrepreneurial [18] dalam masyarakat.

[18] Bukanlah merupakan tugas yang ringan bagi para ahli antropologi untuk menerima tantangan-tantangan yang sejak lama dituntut oleh para ahli ekonomi dan kalangan bisnis, yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan wiraswasta (entrepreneurial) bangsa. Hal ini berkenaan dengan pembentukan suatu mindset untuk menjadi manusia kreatif dan inovatif serta memiliki “seribu akal” dalam kaitannya dengan kecerdasan kehidupan bangsa. Para pengamat entrepreneurship sudah lama mengidentifikasi ciri-ciri manusia Indonesia yang kurang mendukung tumbuhnya entrepreneurship, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sri-Edi Swasono, yang mengacu kepada tulisan-tulisan Mochtar Lubis dan Koentjaraningrat mengenai ciri-ciri “negatif” orang Indonesia sebagai berikut: “ … ciri-ciri manusia Indonesia, misalnya masih tidak achievement oriented tetapi status oriented, berorientasi pada masa lalu, menggantungkan diri pada nasib, konformis (takut menerobos pakem), berorientasi pada atasan, meremehkan mutu dan suka menerabas (tidak teliti dan sistematik), tidak percaya pada diri sendiri,tidak berdisiplin, suka mengabaikan tanggung jawab, munafik, feodal, percaya pada tahyul, berwatak lemah (terutama terhadap uang), tidak hemat (boros), kurang ulet, terlalu fleksibel, hidup manja (santai), kurang inovatif, kurang waspada (gampang merasa aman), suka sok kuasa (haus kekuasaan), mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum (formal-informal dicampuradukkan), mengemban sikap hidup miskin, berlagak ramah (friendly) padahal sebenarnya menghamba (servile), berlagak wajar-diri (low profile) padahal sebenarnya adalah lemah (soft). (Lihat Sri-Edi Swasono, Kemandirian Bangsa, Tantangan Perjuangan dan Entrepreneurship Indonesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra, 2003, hlm. 20-21).

Ciri-ciri “negatif” ini berhadapan dengan tuntutan kualifikasi seorang entrepreneur, yaitu “ … memiliki ‘tenaga dalam’, seperti kreatif, inovatif, dimilikinya originalitas, berani mengambil resiko, berorientasi ke depan dan mengutamakan prestasi, tahan uji, tekun, tidak gampang patah semangat (tidak cengeng), bersemangat tinggi, berdisiplin baja, dan teguh dalam pendirian. Ia mempunyai cita-cita dan dedikasi yang jelas serta etos kerja produktif yang kuat, kalau perlu dengan cerdik menerobos pakem-pakem yang berlaku. Dengan ciri-ciri semacam ini, dengan sendirinya seorang wiraswasta tidak saja berkepribadian dan mempunyai karakter kuat, tetapi juga dengan sendirinya adalah orang pintar bermental unggul (ber-IQ, ber-EQ dan ber-RQ tinggi) dan sehat jasmaninya” (Ibid. hlm. 23). Keseluruhannya ini merupakan tantangan budaya yang diajukan oleh profesional di bidang ekonomi dan bisnis, yang harus pula memperoleh jawaban dari kita semua dalam Kongres Kebudayaan ini.

Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat dan merupakan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945: “… melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Preambul UUD 1945 itu.

Berbagai contoh di atas kiranya juga menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika pembangunan daerah tidak dilan­dasi oleh orientasi pola pikir kerjasama. Kebersamaan dan kerja­sama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar Kabupaten dan Provinsi, juga harus beriorientasi pada pola pikir membangun seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat lokal. Sulit diperkirakan tentang akan terca­painya keberhasilan otonomi daerah yang masih dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan (mengabaikan kerjasama) dan orientasi penguasaan (eksklusivisme sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan bangsa.



Penutup

Sebagai penutup dapat diulangi di sini bahwa dalam penataan mindset untuk “membentuk” kebudayaan nasional Indonesia, makalah ini mengambil titik-tolak utama sebagai awal strategis: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional.

Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.

Kedua, tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan” menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.

Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa.

Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia”.

Kelima, yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya upaya “membentuk” secara tegas identitas nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran.

20 Oktober 2003



DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.

Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.

Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.

Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press

Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997). Communicating with Strangers. Boston: McGraw Hill.

Kompas (2003). “Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari”, hlm. 11 kol. 1-3, 12 Oktober.

Lustick, Ian S. (2002). “Hegemony and the Riddle of Nationalism: The Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East”, Logos Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.

Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization Unmasked: Imperialism in the 20th Century. London: Zed Books, 2001.

Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe.

Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

--- (1999). “Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kerangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, makalah pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.

--- (2000a). “Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa”, makalah diajukan dalam Simposium dan Lokakarya Internasional dengan tema “Mengawali Abad ke-21: Menyongsong Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa”, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di Makassar, 1-5 Agustus 2000.

--- (2000b). “Kebudayaan Nasional sebagai Kekuatan Pemersatu Bangsa”, makalah dalam Seminar Sehari tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diselenggarakan oleh DPP Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25 November.

--- (2002). “Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Menjelang AFTA 2002”, Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003, hlm. 10-15.

--- (2003a). “Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi”, makalah diajukan dalam Seminar Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FISIP-UI di Depok, 30-31 Januari.

--- (2003b). 4. “Membangun Kebudayaan Nasional”, majalah Perencanaan Pembangun­an, No.31, April-Juni 2003, hlm. 42-48.

--- (2003c). “Masalah Psikososial, Pandangan Masyarakat tentang Kesehatan Jiwa, dan Membangun Jiwa Bangsa”, makalah diajukan pada Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta, 9-11 Oktober.

Swasono, S.E. (2003a). “Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanya­kan Jatidiri Bangsa”, makalah utama diajukan pada Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003.

Swasono, S.E. (2003b). Kemandirian Bangsa, Tantangan Perjuangan dan Entre­preneurship Indonesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra.

Tambunan, A.S.S. (2002). UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku.





Copyright © 2003 Pusat Studi Ekonomi Pancasila - Universitas Gadjah Mada
website: www.ekonomipancasila.org
e-mail: pustep@ugm.ac.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Listed on BlogShares